Penegakan Hukum
Lingkungan Dalam Pembangunan dan Industrialisasi
(Pendekatan
Hukum dan Pemberlakuan Asas Strict Liability)
Akhmad
Sukris Sarmadi
Fakultas
Syariah IAIN Antasari
email.
a.sukris@yahoo.co.id
Inseparable
development with industrialization. whereas industrialization always need
natural resources which many. in state developing like Indonesia, needed
absolute development. but compulsion not to destroy natural resources represent
separate compulsion. for that, strived development which with vision of
environment represent expectation to this nation. legal effort to guarantee not
the happening of damage of environment have been that is by publishing (conun)
Management of Environment to development not destroy limited and available
natural resources. for example by putting down ground of strict liability.
Kata kunci : Pembangunan, industrialisasi,
hukum, lingkungan
Pendahuluan
Berlakunya UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai
penyempurna peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup semakin terlihat upaya pemerintah dan
bangsa ini untuk menegakkan dan memperjuangkan hak hidup sejahtera bagi warga
negara sebagaimana amanat dalam perubahan kedua UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat
(1) berbunyi : Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik
dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Upaya
hidup sejahtera bagi warga negara tidak hanya berkaitan dengan persoalan
ekonomi saja tetapi juga keharusan adanya lingkungan yang baik. Undang-Undang
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bisa dikatakan sebagai
umbrella provision bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Sebut saja UU No.
24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang diganti dengan UU N0. 26 tahun 2007.
demikian pula UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayatidan
Ekosistemnya serta UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di samping peraturan
lainnya yang terkait dengan upaya penciptaan lingkungan yang mendukung hidup
sejahtera bagi setiap warga negara.
Dalam konteks yang
lain, terbitnya aturan hukum tentang lingkungan sesungguhnya tidak lain
merupakan upaya menjaga lingkungan tanpa mengabaikan kehendak pembangunan dan
industrilisasi. Bahkan, ide hukum lingkungan sendiri dikembangkan agar suatu
pembangunan dan industri menjadi terkendali, terencana hingga menjadi
berkesinambungan. Jika tidak, maka terjadi pemanfaatan ruang dan SDA yang tidak
terkendali, serta tumpang-tindihnya (overleaping) peruntukan ruang apalagi jika
tak disertai langkah-langkah antisipatif dan perbaikan.[1]
Maka pada gilirannya akan merusak sumber daya alam dan bencana bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Oleh karenanya dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 23 tahun 1997
disebutkan bahwa Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal
ini disempurnakan dengan UU N0. 32 tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Berangkat dari sini
maka hukum lingkungan bukan merupakan penghalang dari pembangunan maupun
industrilisasi di daerah maupun kota, ataupun mengabaikan kenyataan bahwa
sumber daya alam untuk dimanfaatkan. Pandangan yang keliru bagi pelaku usaha
tertentu ataupun yang ingin memanfaatkan alam dengan adanya UU No. 23 tahun
1997 dan UU No.32 tahun 2009 dianggap menghalangi pemanfaatan sumber daya alam
maupun pembangunan. Sebagaimana di katakan di muka, hukum lingkungan
melandaskan upaya sinergitas pemanfaatan alam, pembangunan dan penataan
lingkungan. Meskipun kenyataan bahwa upaya sinergis dan pemaduan hukum
lingkungan dengan kehendak rakus manusia dalam pembangunan masih merupakan
persoalan yang rumit setidaknya harus diakui secara emperik, walaupun telah
banyak upaya yang dilakukan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia, masih banyak
permasalahan yang belum dapat diatasi secara menyeluruh, dan kemungkinan masih
akan dihadapi sepanjang tahun.
Dalam ide dasar sebagai
landasan hukum lingkungan dipahami bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup
merupakan salah satu aset utama untuk mendukung terciptanya tujuan utama
pembangunan kota dan daerah. Telah dipahami bersama bahwa ketersediaan sumber
daya alam dan kualitas lingkungan hidup yang baik akan mendukung kesinambungan
pembangunan ekonomi pada saat ini dan di masa yang akan datang. Mattias Finger
mengatakan, sbb :[2]
krisis lingkungan hidup
yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal,
yaitu kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan
cenderung merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang
akhirnya merugikan lingkungan; tindakan dan tingkah laku menyimpang dari
aktor-aktor negara yang ‘tersesat’, mulai dari korporasi transnasional hingga
CEOs; merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme; serta
individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.
Pandangan Mattias
Finger di atas dapat dibenarkan karena kenyataan bahwa kebijakan yang salah
atau pengaturan hukum yang keliru merupakan pokok dari kerusakan lingkungan di
samping teknologi yang salah, budaya konsumerisme dan individualistik. Untuk
itu, ide menciptakan peraturan hukum yang ideal seperti yang disemangati UU No.
32 tahun 2009 tentang hukum lingkungan, UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan
di samping peraturan lainnya yang terkait dengan lingkungan tidak boleh
terhenti. Sebab aturan-aturan hukum tersebut masih banyak kekurangannya.
Misalnya upaya pengembangan jaringan hukum lingkungan dan memfasilitasi
penyusunan Peraturan Daerah di bidang lingkungan. Sekalipun upaya ini sudah
mulai terlihat dengan pemberlakuan UU No. 32 tahun 2009 agar daerah punya aksen
langsung terhadap pembinaan lingkungan.
Pemahaman tersebut
didasarkan pada pengamatan nyata terhadap kehidupan alam raya memperlihatkan
bahwa hubungan antara makhluk hidup, yaitu manusia, binatang, tumbuhan dan
sejenisnya di satu pihak, dan empat unsur kehidupan yang terdiri atas api,
udara, tanah, dan air di pihak lain tidak dapat dipisahkan. Bahkan, kelompok
pertama tidak dapat hidup tanpa keempat unsur yang disebut terakhir. Dalam
konteks hubungan antara manusia dan air misalnya, kehidupan manusia sehari-hari
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan air sebagai menu air bersih, irigrasi
pertanian, usaha perikanan dan perternakan, bahkan dalam pembangunan prasarana
fisik pun air amat dibutuhkan.[3]
Menneg PPN/Kepala
Bappenas mengatakan bahwa ada dua masalah global yang sedang dihadapi dan
mempengaruhi fokus program pembangunan lima tahun ke depan, yakni ancaman
dampak perubahan iklim dan krisis keuangan global. Perubahan iklim menuntut
untuk dilakukannya efisiensi dari penggunaan sumber daya dan melakukan inovasi teknologi.
Krisis keuangan global menuntut untul lebih meningkatkan kemandirian dalam
membangun dan kehati-hatian dalam memilih kebijakan dan strategi pembangunan.[4]
Di lain pihak, ada
banyak permasalahan pokok yang utama dipahami adalah mencakup rendahnya
pemahaman hukum lingkungan dan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara berkesinambungan dan disertai lemahnya penegakan hukum yang dibarengi oleh
kemiskinan akibat krisis ekonomi telah membawa dampak buruk bagi upaya pembangunan
sumber daya alam serta mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Hal ini antara
lain ditandai oleh tingginya tingkat kerusakan hutan dan lahan sebesar 1,6 juta
hektar per tahun; maraknya pencurian hasil hutan, terutama kayu, serta
pencurian hasil laut yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya
laut terutama berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya.
Dengan kata lain, kenyataan bahwa pemerintah telah secara sadar memberlakukan
politik pengabaian (The Political of Ignorance) untuk menguasai dan memanfaatkan
SDA sebagai sumber kehidupan mereka.[5]
Permasalahan pokok lain
yang masih dihadapi adalah berkaitan dengan masih tingginya tingkat pencemaran
lingkungan hidup akibat belum dipatuhinya beberapa peraturan di bidang sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Berkait dengan UU No.23 tahun 1997 maupun
sekarang dengan berlakunya UU N0. 32 tahun 2009 adalah masalah masih tingginya
pencemaran sungai dan laut oleh limbah industri dan rumah tangga, pencemaran
udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor di perkotaan, serta belum
optimalnya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Selain itu
untuk mengurangi biaya lingkungan, perlu diprioritaskannya upaya minimasi
limbah melalui produksi bersih dan daur ulang.
Di bidang sumber daya mineral, maraknya penambangan liar yang tidak
memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan masih banyak terjadi. Dengan kata
lain, perhatian dan penegakan UU No. 41 tahun 1999 (meskipun memiliki
kekuarangan) harus tetap digalakkan oleh semua lapisan. Rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan pengusahaan sumber daya alam hutan
dan tambang, serta belum efektifnya pelaksanaan Pedoman Umum Pengembangan
Daerah Penyangga Taman Nasioanal sebagai acuan bagi daerah untuk membangun
masyarakat yang berada di daerah penyangga merupakan masalah tersendiri yang
harus diperhatikan.
Begitu banyaknya
permasalahan hukum lingkungan tidak lepas dari masih lemahnya penegakan hukum
lingkungan, baik oleh pemerintah pusat dan daerah, di samping masih rendahnya
pengetahuan masyarakat akan perlunya penegakan hukum lingkungan. Untuk itu
diperlukan pemahaman hukum lingkungan dalam pembangunan
Pendekatan Hukum
Lingkungan dan Konvensional atas Kerusakan Lingkungan;
Sebenarnya dalam
mengatasi kerusakan lingkungan akibat adanya pembangunan, indusriliasasi dari
berbagai sektor dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode. Yaitu metode
konvensional dan metode pendekatan hokum.
Metode konvensional
berupa upaya penyelamatan lingkungan telah lama dilakukan, seperti operasi
intelijen dan represif, pendekatan sosial budaya, politik maupun kerjasama
antara negara. Beberapa waktu yang lewat, terjadi maraknya penebangan liar
kawasan lindung seperti Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung
Puting. Di negeri ini tingkat penebangan
liar (illegal logging) masih cukup tinggi yang diperkirakan telah merugikan
negara sekitar US$ 2,8 miliar pertahun. Ancaman terhadap kondisi sumber daya
hutan tersebut masih diperparah dengan peristiwa kebakaran hutan lahan yang
terjadi di beberapa kawasan. Pada tahun
2000 kebakaran hutan yang terjadi mencakup areal seluas 29,6 ribu hektare,
sedangkan selama Januari – Mei 2001 kebakaran hutan tersebut mencakup areal
14,6 ribu hektare. Selajutnya tahun
berikutnya areal yang terkena semakin benar hingga tahun 2007, beruntung curah
hujan cukup tinggi di negeri ini mengakibatkan berkurangnya kerusakan lahan
akibat kebakaran.[6]
Upaya dengan metode
konvensional masih menyisakan banyak permasalahan lain misalnya masih kurang
optimalnya upaya untuk meningkatkan pengakuan atas hak kepemilikan, kemitraan dan akses
masyarakat adat dan lokal dalam pola pemanfaatan sumber daya alam dan
pelestarian lingkungan hidup, sehingga perlu dipercepat dan disempurnakan
mekanisme pelaksanaannya.
Metode kedua adalah dengan
pendekatan hukum. Beberapa penyelesaian dalam bidang pendekatan hukum berupa penegakan
hukum lingkungan telah diupayakan dengan hadirnya UU N0. 32 tahun 2009 maupun UU
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebelumnya berlaku UU
No. UU N0.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan yang terkait
antara lain UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, UU N0.26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, UU N0.4 tahun 2009 tentang Minirba, UU N0. 22 tahun 2001
tentang Minyak & Gas bumi, UU N0. 24 TAHUN 1992 tentang Tata ruang, UU
No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air,
UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi,
PP No. 42 tahun 2008 tentang pengelolaan sumber daya air, PP No. 21 tahun
2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik. Hanya kelemahannya
banyak bergantung pada pemerintah, aparatur negara.
Hal yang termasuk pokok
dalam penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk menerapkan AMDAL sebagai
satu perangkat pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup perlu
terus ditegakkan. Dalam bidang
kelembagaan, untuk mendukung desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup, penguatan institusi pengelola sumber daya alam dan
lingkungan hidup telah dilakukan. Meskipun di sebagian daerah ditemukan masih rendahnya
kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan lingkungan maupun oleh
pemerintah daerah itu sendiri.
Barangkali pendapat
yang mengatakan bahwa sebenarnya krisis lingkungan- hutan pada kurun waktu tiga
dekade terakhir ini tidak lepas dari ikut campurnya pemerintah khususnya
pemerintah daerah. Adanya penggunaan paradigma kehutanan yang berbasis negara.
Akhirnya memberi otoritas dan legitimasi yang penuh kepada negara untuk
mengklaim, menguasai, mengatur, mengelola, memanfaatkan dan mengusahakan hutan
lebih sebagai sumber pendapatan dan devisa negara.[7]
Ironis sekali kenyataan ini juga terjadi
di Indonesia. Untuk itu perlu diselesaikan dalam tiga hal pemahaman, sbb :
1. Memperbaiki
peraturan perundang-undangan yang ada seperti perundang-undangan kehutanan dan pertambangan yang dominan justru
merusak alam secara sistematis dan legalistis serta upaya menyempurnakan UU No.
23 tahun 1997 tentang UUPLH maupun UU 32 tahun 2009.
2. Mengubah
pola berpikir yang keliru tentang SDA sebagai prioritas pembangunan ekonomi.
Dalam hal ini adalah pemerintah sebagai agen pemicu kerusakan lingkungan yang
bertanggungjawab. Untuk itu Pemerintah harus mengarahkan sumber daya ekonomi
bukan pada SDA tetapi pada kemampuan diri yang bertanggung jawab secara sadar
dan berlandas pada UUPLH jika terpaksa melakukan ekploitasi SDA.
3. Pemahaman
masyarakat akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, penegakan atas kesadaran
diri sendiri akan hukum lingkungan di samping usaha pemerintah untuk
memperkenalkan dan mengingatkan berlakunya hukum lingkungan dan hukum lainnya
yang terkait dengan lingkungan.
4. Penegasan
akan berlakunya asas strict liability dalam Hukum Lingkungan kepada masyarakat
dan khususnya pelaku usaha.
Strict
Liability dalam Hukum Lingkungan; Menuju Pengelolaan Pembangunan yang
Benar dari Pencemaran
Asas Tanggung jawab Mutlak (strict liability) telah diperkenalkan sejak
pertengahan abad ke 19 seiring dengan perkembangan industrialisasi (terutama di
Inggris ketika itu) sekurang-kurangnya untuk beberapa macam kasus, yang
sebagian besar adalah berkaitan dengan risiko lingkungan. Hal tersebut dipicu
oleh meningkatnya risiko yang ditimbulkan industrialisasi serta semakin
rumitnya hubungan sebab akibat. [8] Konsep tanggung jawab
mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan
ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah
tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Tetapi pihak
pencemarlah yang harus membuktikannya.
Setiap kegiatan pembangunan, di manapun dan kapanpun pasti akan
menimbulkan dampak. Karena pembangunan tidak lepas dari dunia industri,
pencapaian kemajuan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam secara
besar-besaran. Dampak disini dapat bernilai positif yang berarti memberi
manfaat bagi kehidupan manusia, dan dapat berarti negatif yaitu timbulnya
risiko yang merugikan masyarakat. Pembangunan itu sendiri memerlukan
pemanfaatan terhadap sumber daya alam yaitu segala sesuatu persediaan bahan
atau barang alamiah yang dalam keadaan sebagaimana ditemukan diperlukan
manusia,[9]
atau yang dengan suatu upaya tertentu dapat dibuat bermanfaat bagi manusia.[10]
Dalam pemahaman yang umum, sumberdaya bersifat berterus-terus bahkan dapat
menjadi masukan ke dalam proses menghasilkan sesuatu yang berharga, atau dapat
memasuki proses konsumsi secara langsung sehingga mempunyai harga. Sumberdaya
dapat pula diartikan dengan konsep keterbatasan (scarcity). Sesuatu yang tidak
terbatas bukan sumberdaya. Sumberdaya bermakna ganda, yaitu kuantitas maupun kualitas
bahkan dalam makna waktu dan ruang. Maka diperlukan untuk menjaga sumber daya dengan penegakan
hukum lingkungan agar pembangunan dapat berjalan dengan benar. Pembangunan itu
sendiri tidak lepas dari usaha apapun yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Sebenarnya Tujuan utama
pengelolaan lingkungan hidup antara lain adalah terlaksananya pembangunan
berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara
bijaksana. Oleh karena itu perencana kegiatan sejak awal sudah harus
memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kodisi yang
merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan.
Meskipun telah diakui banyaknya manfaat suatu pembangunan, namun sering
pula ditemukan dampak negatifnya misalnya terjadinya pencemaran lingkungan. Akibat kegiatan
pembangunan terhadap lingkungan, yang sangat menonjol adalah masalah
pencemaran. Pengertian pencemaran lingkungan hidup berdasarkan ketentuan pasal
1 ayat 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH), sbb :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 14 UUPLH yang
baru yaitu UU N0.32 tahun 2009 disebutkan, sbb :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Untuk itu pembangunan
dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam hanya dapat benar bila ditegakkan
hukum lingkungan hidup dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait
bidang lingkungan hidup, berjalan dan ditegakkan secara efektif dimana salah
satu unsur yang sangat penting dalam kaitan ini adalah penerapan Tanggung Jawab
Mutlak terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.
Aturan hukum lingkungan
sendiri didasarkan pada kesepakatan umum dari para pengamat lingkungan bahwa
SDA dapat dimanfaatkan. Namun mereka tidak sependapat jika diekploitasi tanpa
memperhatikan dampak lingkungan. Permasalahan utama adalah adanya kenyataan
sekarang di manapun di negara Indonesia ini, SDA sering diekploitasi tanpa
memperhatikan dampak lingkungan. Ini merupakan persoalan yang besar di negeri
ini dan harus diselesaikan secepat mungkin menuju masyarakat yang makmur.
Sumber daya alam diakui
pada dasarnya adalah untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam arti tidak
menguras dan menghabisinya atau tanpa perencanaan pelestariannya. Pemanfaat
sumber daya alam yang benar akan menciptakan kesinambangunan dalam pembangunan
ekonomi. Sebaliknya pemanfaatan yang keliru akan menciptakan ketersendatan
pembangunan ekonomi dan pada gilirannya berakibat lumpuhnya pembangunan ekonomi.
Strict Liability sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 88 UU N0.32
tahun 2009 bahwa Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Sementara dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 lebih rinci disebutkan,
sbb :
(1) Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya
dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungna hidup disebabkan
salah satu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau
peperangan; atau
b.
adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan
manusia; atau
c.
adanya tindakan pihak ketiga yang
menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(3)
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti
rugi.
Dalam Penjelasan Pasal
35 ayat (1) UU No.23 tahun 1997 maupun dalam Penjelasan Pasal 88 UU No. 32
tahun 2009 menyatakan sebagai berikut :
Pengertian
bertanggungjawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayar ganti
kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan
melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksudkan sampai batas tertentu adalah
jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau lebih
tersedia dana lingkungan hidup.
Berdasarkan
Pasal 35 UUPLH tersebut, sudah sangat efektif yaitu adanya jenis kegiatan/usaha
yang tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak seperti kegiatan yang wajib
Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3. Pasal 35 UUPLH merupakan
lex specialis dalam gugatan (di mana unsur kesalahan tak perlu dibuktikan)
tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Kenyataan pula dalam Pasal 88
UUPLH yang baru tetap memberlakukan asas ini. Misalnya yang terkait dengan
aturan umum keperdataan dalam pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan bahwa tanggung jawab
berdasarkan adanya kesalahan (liability based on fault) yaitu tanpa
adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk menuntut kerugian berbunyi :
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut".
Di sini merupakan
kewajiban penggugat. Sedangkan dalam masalah gugatan terhadap pencemaran
lingkungan menggunakan asal sebaliknya dari Pasal 1865 BW. Ini didasarkan pada
konsep lex specialis yang mengartikan bahwa pihak tergugatlah yang harus
membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan
lingkungan hidup. Meskipun dalam Pasal 35 ayat (2) memberikan pengecualian sebagai
dasar pemaaf yaitu bila dapat dibuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan
lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan
terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat tindakan pihak ketiga. Namun
asas pertanggungjawaban mutlak menjadi dasar keharusan bagi pelaku pencemaran
membuktikan tidak adanya hubungan causality dengan pencemaran yang terjadi.
Secara filosofis aturan
hukum pertanggungjawaban mutlak adalah agar terjadi keadilan bagi pihak yang
menderita langsung. Sebab pembuktian kesalahan terhadap suatu peristiwa yang
dirasakan langsung sangatlah sulit dan rumit. Dan bisa berakibat
sangat menguntungkan bagi pencemar atau perusak lingkungan. Terkecuali ia dapat
membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal pencegahan pencemaran
melalui pendekatan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten maupun
audit lingkungan (regulatory compliance audit atau environmental management
system audit).
Berdasarkan UU No. 32
tahun 2009, Pihak-pihak penggugat sendiri tidak hanya korban pencemaran, tetapi
juga dapat dilakukan oleh kelompok yang mendasari organisasinya di bidang
lingkungan. Di samping Pemerinah Pusat juga pemerintah Daerah dapat mengajukan
gugatannya.
Dengan demikian,
harapan pertakutan ataupun penjeraan bagi pencemar dapat dirasakan. Dan tidak
ada cara lain kecuali melakukan suatu usaha, pengembangan industri dan
pembangunan pada pola yang benar yaitu tanpa merusak lingkungan.
Hukum Lingkungan dan
Soal Dampak Pembangunan Daerah dan Kota
Filosofis Hukum dalam UUPLH bukan hanya persoalan
pencemaran akibat industri tetapi juga terhadap persoalan lain seperti akibat pembangunan
daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sering melupakan kondisi ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia. Harus
ada pertimbangan yang perimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan
ekologis. Jika tidak, bisa terjadi pemanfaatan ruang dan SDA yang tidak
terkendali, serta tumpang-tindihnya (overleaping) peruntukan ruang apalagi jika
tak disertai langkah-langkah antisipatif dan perbaikan. Akibatnya daerah itu
sendiri yang menanggung resiko terkurasnya sumber daya alam di daerahnya yang
bila tidak diatur berdampak kemiskinan masyarakat daerah. Misalnya tentang
pemanfaatan air bagi pembangunan daerah dan kota maupun usaha seperti tersebut
dalam pasal 21 pada UU No. 7 tahun 2004,
sbb :
(1) Perlindungan
dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber
air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang
disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh
tindakan manusia.
(2) Perlindungan
dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. pemeliharaan
kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b.
pengendalian
pemanfaatan sumber air;
c.
pengisian
air pada sumber air;
d.
pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e. perlindungan
sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan
lahan pada sumber air;
f.
pengendalian
pengolahan tanah di daerah hulu;
g.
pengaturan
daerah sempadan sumber air;
h.
rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i.
pelestarian
hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
Maka
dengan pemahaman demikian, pemeliharaan, perlindungan dan pelestarian air
mutlak selalu ada dan harus diperhatikan oleh pelaku usaha, pemerintah daerah
dan kota dalam pembangunan.
Akibat
proses desentralisasi, demokratisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi
seringkali banyak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pada kenyataannya, suatu
daerah biasanya diukur dari ketersediaan sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi biasanya
diprioritaskan pada tingkat pertama (sehingga kurang memperhatikan aspek
lingkungan) karena dianggap penting untuk peningkatan jumlah barang dan jasa
yang dapat dihasilkan oleh suatu daerah guna memenuhi kebutuhan penduduknya
padahal Sumber daya alam memiliki peran ganda yaitu sebagai modal pembangunan
dan sekaligus sebagai penopang sistim kehidupan. Meskipun seringkali lingkungan
menjadi terabaikan, rusak dan tercemar.
Sementara
lain, di samping pembangunan daerah, dampak
negatif lajunya pembangunan kota memiliki dimensi yang luas, hal itu disebabkan
kompleksnya tuntutan, kebutuhan,
dan kepentingan masyarakat. Di sisi lain sumber daya
pembangunan yang dikelola masih sangat terbatas. Hal ini mendorong perlunya
Pemerintah Kota merumuskan kebijakan dan melaksanakannya secara konsisten dalam
rangka mewujudkan tujuan – tujuan pembangunan yaitu untuk tetap berpegang pada
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum lingkungan.
Berangkat dari kenyataan demikian, baik
pemerintah daerah maupun kota haruslah memahami keterbatasan sumber daya alam. Hal inilah yang
menjadi filosofis utama sehingga mengapa diadakan peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan lingkungan. Setidaknya mereka harus memahami makna
Lingkungan yang harus dijaga atas segala macam pembangunan di daerah dan kota, sbb
:
- Hukum Lingkungan dengan konsep berwawasan lingkungan menghendaki agar pembangunan maupun prosesnya seperti industri, ekploitasi, pembangunan rumah, tata kota-desa, dll adalah harus tidak semata untuk tujuan ekstraktif seperti penambangan, penggalian, kepentingan sesaat pemerintah dan pengusaha yang sering melakukan pencemaran.
- Hukum Lingkungan tidak menghalangi adanya sumber masukan Pemerintah untuk proses produksi hayati (pertanian, kehutanan, dll.) yang seyogyanya tetap diberdayakan semaksimal mungkin namun jangan melupakan tetap menegakkan hukum lingkungan dan yang hukum yang terkait dengannya.
- Hukum Lingkungan harus diletakkan pada posisi teratas atas alasan apapun, baik ekonomi, pembangunan, sosial, budaya, maka pemerintah daerah maupun kota tidak boleh menghilangkan atau merusak atau mencemari sumber daya genetik maupun cagar peninggalan alam (PP No. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik) termasuk sanitasi dan penyehatan (pembuangan limbah, taman, dll.). hal ini Bertujuan agar limbah tidak merusak lingkungan sumber daya alam (UU N0.23 tahun 1997 dan UU No. 32 tahun 2009).
Penutup
Upaya
Penegakan hukum dapat dilalui dalam dua metode yaitu metode konvensional dan
metode pendekatan hukum. Kedua metode pendekatakan ini harus tetap
dipertahankan dan sesungguhnya saling bersinergi. Metode konvensional
sesungguhnya akan lebih memberikan kesadaran pada masyarakat-sosial budaya.
Sedangkan pendekatan hukum akan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
korban seperti dengan hadirnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (sebelumnya berlaku UU No. UU N0.4 tahun 1982 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan yang terkait antara lain UU Kehutanan No. 41
tahun 1999, UU N0.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU N0.4 tahun 2009
tentang Minirba, UU N0. 22 tahun 2001 tentang Minyak & Gas bumi, UU N0. 24
TAHUN 1992 tentang Tata ruang, UU No.7
tahun 2004 tentang sumber daya air, UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, PP No. 42
tahun 2008 tentang pengelolaan sumber daya air, PP No. 21 tahun
2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik.
Salah satu kemajuan dan
pengembangan hukum (dalam metode pendekatan hukum) adalah diberlakukannya asas Strict Liability dalam
Hukum Lingkungan (Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 jung to pasal 35 UU No.23 tahun
1997. Dalam asas pertanggungjawaban mutlak ini akan memudahkan bagi korban
pencemaran untuk melakukan gugatan. Konsep tanggung jawab
mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan
ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah
tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya pembuktian kesalahan tetapi harus
dibuktikan oleh pelaku pencemaran atau perusak lingkungan.
Upaya
lain adalah upaya konvensional yang dikehendaki peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan lingkungan adalah agar setiap pembangunan maupun proses
pembangunan itu sendiri harus selalu berwawasan lingkungan, tanpa merusak
sumber daya alam, cagar dan pengupayaan sumber daya alam dapat terus dinikmati
dan dilestarikan.
BAHAN BACAAN
Azhar, Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia, Palembang, Universitas
Sriwijaya, September, 2003.
Djajadiningrat, Surna T., Hukum
Lingkungan, Jurnal Tahun I No. 1/1994,
ICEL, Jakarta.
DuBois, Brenda
dan Karla Krogsrud Miley, Social Work: An Empowering profession, Boston:
Pearson, edisi ke-5, 2005.
Eggi Sudjana
Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999.
Erwin, Muhamad,
Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan
Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Faiz, Pan
Mohamad, Perubahan Iklim Dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu
Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi , paper position
pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai “Perubahan Iklim”
yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di
Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009.
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum
Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta,
2005.
I Nyoman Nurjaya, Proses
Pemiskinan Di Sektor Hutan Dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop Strategi
Pemberdayaan Ekonomi Sistem Hutan Kerakyatan, Sebuah Agenda Penanggulangan
Kemiskinan Struktural Sektor Kehutanan, yang diselenggarakan KpSHK dan KIKIS
pada tanggal 18-20 Januari 2000 di Puncak Inn Resort Hotel, Puncak, Jawa Barat.
-----------------------, Pengelolaan Sumber Daya Alam, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,
2008
-------------------, Hukum Lingkungan, kumpulan Makalah, Penerbit Pasca Sarjana Untag Surabaya, 2009.
Reksodiprodjo, Sukamto, Pradono , Ekologi
Sumber Daya Alam dan Energi, 1968, BPFE, Yogyakarta.
Randall, A. 1987.
Resource economics. John Wiley & Son. New York. Xiii
Renwarin, Yan,
makalah dalam seminar Peran Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bagi Pembangunan Nasional, Sunday, 01 July 2007, atau dalam http://www.yplhc.org/modules.
php?name=News&file=print&sid=105
Suparmoko. M., Ekologi Sumber
Daya Alam dan Lingkungan., 1994, BPFE, Yogyakarta.
Saptomo, Ade, Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam antar Pemerintah
daerah dan implikasi hukumnya,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 2, September 2006.
Salim, Emil, “Jika Iklim
Berubah”, dalam Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun
Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.
Soemartono, R.M. Gatot P., Hukum
Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1996.
Supriadi, Hukum Lingkungan di
Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
Menard, H.W.
1974. Geology, resources, and society. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.
Xi.
Matthias Finger,
“Which
Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan
Matthias Finger, eds., The Crisis of
Global Environmental Governance: Towards
a New Political Economy of Sustainability, Routledge Taylor & Francis
Group, New York, 2006.
Suharto, Edi “Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dalam Pusaran Desentralisasi dan Good Governance”, makalah yang
disampaikan pada Semiloka Kompetensi Sumberdaya Man usia Kesjahteraan Sosial di
Era Desentralisasi dan Good Governance, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan
Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Banjarmasmn 21 Maret 2006
[1] Cf, banyaknya kasus rusaknya alam lingkungan di
berbagai daerah Indonesia. Seperti di Kalimantan dan terkhusus di Kalimantan
selatan, baik karena penebangan hutan, pertambangan maupun pembangunan rumah
yang telah merambah pada lading tanam masyarakat. Di daerah lain seperti di
Irian Jaya seperti yang terungkat dalam dalam seminar Peran Sektor Pengelolaan
Sumber Daya Alam Bagi Pembangunan Nasion, Sunday, 01 July 2007, Dr. Ir. Yan
Renwarin M.Sc menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa ternyata lebih dari 80 %
rumah tangga Papua miskin, ironisnya karena SDA Papua sangat kaya tetapi mulai
terlihat rusaknya lingkungan, sementara Pembangunan di Papua bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan. Lih. http://www.yplhc.org/modules.
php?name=News&file=print& sid=105
[3] Ade
Saptomo, Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam antar Pemerintah daerah dan
implikasi hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 2, September 2006: 130 - 144
[5] I Nyoman Nurjaya, Proses Pemiskinan Di Sektor
Hutan Dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum, Makalah
dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sistem
Hutan Kerakyatan, Sebuah Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural Sektor
Kehutanan, yang diselenggarakan KpSHK dan KIKIS pada tanggal 18-20 Januari 2000
di Puncak Inn Resort Hotel, Puncak, Jawa Barat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, h. 155
[7] I Nyoman Nurjaya,260 Menuju Pengelolaan Hutan yang
Berorentasi pada Kesejahteraan Masyarakat Desa di Sekitar Hutan, Makalah 1999
di UGM atau dalam Lok. Cit. Pengelolaan Sumber Daya Alam, Penerbit
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, h. 260
[9] Randall, A. 1987. Resource economics. John Wiley &
Son. New York. Xiii, p. 434.
[10] Menard, H.W. 1974. Geology, resources, and society.
W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Xi , p. 621.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar