Jumat, 12 November 2010

Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Pembangunan dan Industrialisasi (Pendekatan Hukum dan Pemberlakuan Asas Strict Liability)

Jurnal Hukum Volume III No.2 Nopember 2010


Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Pembangunan dan Industrialisasi
(Pendekatan Hukum dan Pemberlakuan Asas Strict Liability)
Akhmad Sukris Sarmadi
Fakultas Syariah IAIN Antasari
email. a.sukris@yahoo.co.id
Inseparable development with industrialization. whereas industrialization always need natural resources which many. in state developing like Indonesia, needed absolute development. but compulsion not to destroy natural resources represent separate compulsion. for that, strived development which with vision of environment represent expectation to this nation. legal effort to guarantee not the happening of damage of environment have been that is by publishing (conun) Management of Environment to development not destroy limited and available natural resources. for example by putting down ground of strict liability.

Kata kunci : Pembangunan, industrialisasi, hukum, lingkungan

Pendahuluan

Berlakunya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai penyempurna peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup semakin terlihat upaya pemerintah dan bangsa ini untuk menegakkan dan memperjuangkan hak hidup sejahtera bagi warga negara sebagaimana amanat dalam perubahan kedua UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) berbunyi : Setiap  orang  berhak  hidup  sejahtera  lahir  dan  batin,  bertempat  tinggal,  dan mendapatkan  lingkungan  hidup  yang  baik  dan  sehat  serta  berhak  memperoleh pelayanan kesehatan.
          Upaya hidup sejahtera bagi warga negara tidak hanya berkaitan dengan persoalan ekonomi saja tetapi juga keharusan adanya lingkungan yang baik. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bisa dikatakan sebagai umbrella provision bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Sebut saja UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang diganti dengan UU N0. 26 tahun 2007. demikian pula UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayatidan Ekosistemnya serta UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di samping peraturan lainnya yang terkait dengan upaya penciptaan lingkungan yang mendukung hidup sejahtera bagi setiap warga negara.
Dalam konteks yang lain, terbitnya aturan hukum tentang lingkungan sesungguhnya tidak lain merupakan upaya menjaga lingkungan tanpa mengabaikan kehendak pembangunan dan industrilisasi. Bahkan, ide hukum lingkungan sendiri dikembangkan agar suatu pembangunan dan industri menjadi terkendali, terencana hingga menjadi berkesinambungan. Jika tidak, maka terjadi pemanfaatan ruang dan SDA yang tidak terkendali, serta tumpang-tindihnya (overleaping) peruntukan ruang apalagi jika tak disertai langkah-langkah antisipatif dan perbaikan.[1] Maka pada gilirannya akan merusak sumber daya alam dan bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karenanya dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 23 tahun 1997 disebutkan bahwa Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal ini disempurnakan dengan UU N0. 32 tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Berangkat dari sini maka hukum lingkungan bukan merupakan penghalang dari pembangunan maupun industrilisasi di daerah maupun kota, ataupun mengabaikan kenyataan bahwa sumber daya alam untuk dimanfaatkan. Pandangan yang keliru bagi pelaku usaha tertentu ataupun yang ingin memanfaatkan alam dengan adanya UU No. 23 tahun 1997 dan UU No.32 tahun 2009 dianggap menghalangi pemanfaatan sumber daya alam maupun pembangunan. Sebagaimana di katakan di muka, hukum lingkungan melandaskan upaya sinergitas pemanfaatan alam, pembangunan dan penataan lingkungan. Meskipun kenyataan bahwa upaya sinergis dan pemaduan hukum lingkungan dengan kehendak rakus manusia dalam pembangunan masih merupakan persoalan yang rumit setidaknya harus diakui secara emperik, walaupun telah banyak upaya yang  dilakukan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia, masih banyak permasalahan yang belum dapat diatasi secara menyeluruh, dan kemungkinan masih akan dihadapi sepanjang tahun. 
Dalam ide dasar sebagai landasan hukum lingkungan dipahami bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu aset utama untuk mendukung terciptanya tujuan utama pembangunan kota dan daerah. Telah dipahami bersama bahwa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup yang baik akan mendukung kesinambungan pembangunan ekonomi pada saat ini dan di masa yang akan datang. Mattias Finger mengatakan, sbb :[2]
krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan; tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor negara yang ‘tersesat’, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs; merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme; serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.

Pandangan Mattias Finger di atas dapat dibenarkan karena kenyataan bahwa kebijakan yang salah atau pengaturan hukum yang keliru merupakan pokok dari kerusakan lingkungan di samping teknologi yang salah, budaya konsumerisme dan individualistik. Untuk itu, ide menciptakan peraturan hukum yang ideal seperti yang disemangati UU No. 32 tahun 2009 tentang hukum lingkungan, UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di samping peraturan lainnya yang terkait dengan lingkungan tidak boleh terhenti. Sebab aturan-aturan hukum tersebut masih banyak kekurangannya. Misalnya upaya pengembangan jaringan hukum lingkungan dan memfasilitasi penyusunan Peraturan Daerah di bidang lingkungan. Sekalipun upaya ini sudah mulai terlihat dengan pemberlakuan UU No. 32 tahun 2009 agar daerah punya aksen langsung terhadap pembinaan lingkungan.
Pemahaman tersebut didasarkan pada pengamatan nyata terhadap kehidupan alam raya memperlihatkan bahwa hubungan antara makhluk hidup, yaitu manusia, binatang, tumbuhan dan sejenisnya di satu pihak, dan empat unsur kehidupan yang terdiri atas api, udara, tanah, dan air di pihak lain tidak dapat dipisahkan. Bahkan, kelompok pertama tidak dapat hidup tanpa keempat unsur yang disebut terakhir. Dalam konteks hubungan antara manusia dan air misalnya, kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari keberadaan air sebagai menu air bersih, irigrasi pertanian, usaha perikanan dan perternakan, bahkan dalam pembangunan prasarana fisik pun air amat dibutuhkan.[3]
Menneg PPN/Kepala Bappenas mengatakan bahwa ada dua masalah global yang sedang dihadapi dan mempengaruhi fokus program pembangunan lima tahun ke depan, yakni ancaman dampak perubahan iklim dan krisis keuangan global. Perubahan iklim menuntut untuk dilakukannya efisiensi dari penggunaan sumber daya dan melakukan inovasi teknologi. Krisis keuangan global menuntut untul lebih meningkatkan kemandirian dalam membangun dan kehati-hatian dalam memilih kebijakan dan strategi pembangunan.[4]
Di lain pihak, ada banyak permasalahan pokok yang utama dipahami adalah mencakup rendahnya pemahaman hukum lingkungan dan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkesinambungan dan disertai lemahnya  penegakan hukum yang dibarengi oleh kemiskinan akibat krisis ekonomi telah membawa dampak buruk bagi upaya pembangunan sumber daya alam serta mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Hal ini antara lain ditandai oleh tingginya tingkat kerusakan hutan dan lahan sebesar 1,6 juta hektar per tahun; maraknya pencurian hasil hutan, terutama kayu, serta pencurian hasil laut yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya laut terutama berbagai jenis ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya. Dengan kata lain, kenyataan bahwa pemerintah telah secara sadar memberlakukan politik pengabaian (The Political of Ignorance) untuk menguasai dan memanfaatkan SDA sebagai sumber kehidupan mereka.[5]
Permasalahan pokok lain yang masih dihadapi adalah berkaitan dengan masih tingginya tingkat pencemaran lingkungan hidup akibat belum dipatuhinya beberapa peraturan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Berkait dengan UU No.23 tahun 1997 maupun sekarang dengan berlakunya UU N0. 32 tahun 2009 adalah masalah masih tingginya pencemaran sungai dan laut oleh limbah industri dan rumah tangga, pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor di perkotaan, serta belum optimalnya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Selain itu untuk mengurangi biaya lingkungan, perlu diprioritaskannya upaya minimasi limbah melalui produksi bersih dan daur ulang.  Di bidang sumber daya mineral, maraknya penambangan liar yang tidak memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan masih banyak terjadi. Dengan kata lain, perhatian dan penegakan UU No. 41 tahun 1999 (meskipun memiliki kekuarangan) harus tetap digalakkan oleh semua lapisan. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan pengusahaan sumber daya alam hutan dan tambang, serta belum efektifnya pelaksanaan Pedoman Umum Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasioanal sebagai acuan bagi daerah untuk membangun masyarakat yang berada di daerah penyangga merupakan masalah tersendiri yang harus diperhatikan.
Begitu banyaknya permasalahan hukum lingkungan tidak lepas dari masih lemahnya penegakan hukum lingkungan, baik oleh pemerintah pusat dan daerah, di samping masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan perlunya penegakan hukum lingkungan. Untuk itu diperlukan pemahaman hukum lingkungan dalam pembangunan

Pendekatan Hukum Lingkungan dan Konvensional atas Kerusakan Lingkungan;
Sebenarnya dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat adanya pembangunan, indusriliasasi dari berbagai sektor dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode. Yaitu metode konvensional dan metode pendekatan hokum.
Metode konvensional berupa upaya penyelamatan lingkungan telah lama dilakukan, seperti operasi intelijen dan represif, pendekatan sosial budaya, politik maupun kerjasama antara negara. Beberapa waktu yang lewat, terjadi maraknya penebangan liar kawasan lindung seperti Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting.  Di negeri ini tingkat penebangan liar (illegal logging) masih cukup tinggi yang diperkirakan telah merugikan negara sekitar US$ 2,8 miliar pertahun. Ancaman terhadap kondisi sumber daya hutan tersebut masih diperparah dengan peristiwa kebakaran hutan lahan yang terjadi di beberapa kawasan.  Pada tahun 2000 kebakaran hutan yang terjadi mencakup areal seluas 29,6 ribu hektare, sedangkan selama Januari – Mei 2001 kebakaran hutan tersebut mencakup areal 14,6 ribu hektare.  Selajutnya tahun berikutnya areal yang terkena semakin benar hingga tahun 2007, beruntung curah hujan cukup tinggi di negeri ini mengakibatkan berkurangnya kerusakan lahan akibat kebakaran.[6]
Upaya dengan metode konvensional masih menyisakan banyak permasalahan lain misalnya masih kurang optimalnya upaya untuk meningkatkan pengakuan atas  hak kepemilikan, kemitraan dan akses masyarakat adat dan lokal dalam pola pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga perlu dipercepat dan disempurnakan mekanisme pelaksanaannya.
Metode kedua adalah dengan pendekatan hukum. Beberapa penyelesaian dalam bidang pendekatan hukum berupa penegakan hukum lingkungan telah diupayakan dengan hadirnya UU N0. 32 tahun 2009 maupun UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebelumnya berlaku UU No. UU N0.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan yang terkait antara lain UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, UU N0.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU N0.4 tahun 2009 tentang Minirba, UU N0. 22 tahun 2001 tentang Minyak & Gas bumi, UU N0. 24 TAHUN 1992 tentang Tata ruang, UU No.7  tahun 2004 tentang sumber daya air, UU No. 27  tahun 2003 tentang Panas Bumi, PP No. 42 tahun 2008 tentang pengelolaan sumber daya air, PP  No. 21 tahun  2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik. Hanya kelemahannya banyak bergantung pada pemerintah, aparatur negara.
Hal yang termasuk pokok dalam penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk menerapkan AMDAL sebagai satu perangkat pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup perlu terus ditegakkan.  Dalam bidang kelembagaan, untuk mendukung desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, penguatan institusi pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup telah dilakukan. Meskipun di sebagian daerah ditemukan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan lingkungan maupun oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Barangkali pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya krisis lingkungan- hutan pada kurun waktu tiga dekade terakhir ini tidak lepas dari ikut campurnya pemerintah khususnya pemerintah daerah. Adanya penggunaan paradigma kehutanan yang berbasis negara. Akhirnya memberi otoritas dan legitimasi yang penuh kepada negara untuk mengklaim, menguasai, mengatur, mengelola, memanfaatkan dan mengusahakan hutan lebih sebagai sumber pendapatan dan devisa negara.[7]  Ironis sekali kenyataan ini juga terjadi di Indonesia. Untuk itu perlu diselesaikan dalam tiga hal pemahaman, sbb :
         1.   Memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada seperti perundang-undangan  kehutanan dan pertambangan yang dominan justru merusak alam secara sistematis dan legalistis serta upaya menyempurnakan UU No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH maupun UU 32 tahun 2009.
         2.   Mengubah pola berpikir yang keliru tentang SDA sebagai prioritas pembangunan ekonomi. Dalam hal ini adalah pemerintah sebagai agen pemicu kerusakan lingkungan yang bertanggungjawab. Untuk itu Pemerintah harus mengarahkan sumber daya ekonomi bukan pada SDA tetapi pada kemampuan diri yang bertanggung jawab secara sadar dan berlandas pada UUPLH jika terpaksa melakukan ekploitasi SDA.
         3.   Pemahaman masyarakat akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, penegakan atas kesadaran diri sendiri akan hukum lingkungan di samping usaha pemerintah untuk memperkenalkan dan mengingatkan berlakunya hukum lingkungan dan hukum lainnya yang terkait dengan lingkungan.
         4.   Penegasan akan berlakunya asas strict liability dalam Hukum Lingkungan kepada masyarakat dan khususnya pelaku usaha.

Strict Liability dalam Hukum Lingkungan; Menuju Pengelolaan Pembangunan yang Benar dari Pencemaran

Asas Tanggung jawab Mutlak (strict liability) telah diperkenalkan sejak pertengahan abad ke 19 seiring dengan perkembangan industrialisasi (terutama di Inggris ketika itu) sekurang-kurangnya untuk beberapa macam kasus, yang sebagian besar adalah berkaitan dengan risiko lingkungan. Hal tersebut dipicu oleh meningkatnya risiko yang ditimbulkan industrialisasi serta semakin rumitnya hubungan sebab akibat. [8] Konsep tanggung jawab mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Tetapi pihak pencemarlah yang harus membuktikannya.
Setiap kegiatan pembangunan, di manapun dan kapanpun pasti akan menimbulkan dampak. Karena pembangunan tidak lepas dari dunia industri, pencapaian kemajuan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran. Dampak disini dapat bernilai positif yang berarti memberi manfaat bagi kehidupan manusia, dan dapat berarti negatif yaitu timbulnya risiko yang merugikan masyarakat. Pembangunan itu sendiri memerlukan pemanfaatan terhadap sumber daya alam yaitu segala sesuatu persediaan bahan atau barang alamiah yang dalam keadaan sebagaimana ditemukan diperlukan manusia,[9] atau yang dengan suatu upaya tertentu dapat dibuat bermanfaat bagi manusia.[10] Dalam pemahaman yang umum, sumberdaya bersifat berterus-terus bahkan dapat menjadi masukan ke dalam proses menghasilkan sesuatu yang berharga, atau dapat memasuki proses konsumsi secara langsung sehingga mempunyai harga. Sumberdaya dapat pula diartikan dengan konsep keterbatasan (scarcity). Sesuatu yang tidak terbatas bukan sumberdaya. Sumberdaya bermakna ganda, yaitu kuantitas maupun kualitas bahkan dalam makna waktu dan ruang. Maka diperlukan untuk menjaga sumber daya dengan penegakan hukum lingkungan agar pembangunan dapat berjalan dengan benar. Pembangunan itu sendiri tidak lepas dari usaha apapun yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Sebenarnya Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup antara lain adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu perencana kegiatan sejak awal sudah harus memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kodisi yang merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan.
Meskipun telah diakui banyaknya manfaat suatu pembangunan, namun sering pula ditemukan dampak negatifnya misalnya terjadinya pencemaran lingkungan. Akibat kegiatan pembangunan terhadap lingkungan, yang sangat menonjol adalah masalah pencemaran. Pengertian pencemaran lingkungan hidup berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), sbb :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 14 UUPLH yang baru yaitu UU N0.32 tahun 2009 disebutkan, sbb :
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Untuk itu pembangunan dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam hanya dapat benar bila ditegakkan hukum lingkungan hidup dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait bidang lingkungan hidup, berjalan dan ditegakkan secara efektif dimana salah satu unsur yang sangat penting dalam kaitan ini adalah penerapan Tanggung Jawab Mutlak terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.
Aturan hukum lingkungan sendiri didasarkan pada kesepakatan umum dari para pengamat lingkungan bahwa SDA dapat dimanfaatkan. Namun mereka tidak sependapat jika diekploitasi tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Permasalahan utama adalah adanya kenyataan sekarang di manapun di negara Indonesia ini, SDA sering diekploitasi tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Ini merupakan persoalan yang besar di negeri ini dan harus diselesaikan secepat mungkin menuju masyarakat yang makmur.
Sumber daya alam diakui pada dasarnya adalah untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam arti tidak menguras dan menghabisinya atau tanpa perencanaan pelestariannya. Pemanfaat sumber daya alam yang benar akan menciptakan kesinambangunan dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya pemanfaatan yang keliru akan menciptakan ketersendatan pembangunan ekonomi dan pada gilirannya berakibat lumpuhnya pembangunan ekonomi.
Strict Liability sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 88 UU N0.32 tahun 2009 bahwa Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Sementara dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 lebih rinci disebutkan, sbb :
(1)  Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(2)  Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungna hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a.     adanya bencana alam atau peperangan; atau
b.     adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c.     adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Dalam Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU No.23 tahun 1997 maupun dalam Penjelasan Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan sebagai berikut :

Pengertian bertanggungjawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayar ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksudkan sampai batas tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau lebih tersedia dana lingkungan hidup.

          Berdasarkan Pasal 35 UUPLH tersebut, sudah sangat efektif yaitu adanya jenis kegiatan/usaha yang tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak seperti kegiatan yang wajib Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3. Pasal 35 UUPLH merupakan lex specialis dalam gugatan (di mana unsur kesalahan tak perlu dibuktikan) tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Kenyataan pula dalam Pasal 88 UUPLH yang baru tetap memberlakukan asas ini. Misalnya yang terkait dengan aturan umum keperdataan dalam pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan bahwa tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan (liability based on fault) yaitu tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk menuntut kerugian berbunyi :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".

Di sini merupakan kewajiban penggugat. Sedangkan dalam masalah gugatan terhadap pencemaran lingkungan menggunakan asal sebaliknya dari Pasal 1865 BW. Ini didasarkan pada konsep lex specialis yang mengartikan bahwa pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup. Meskipun dalam Pasal 35 ayat (2) memberikan pengecualian sebagai dasar pemaaf yaitu bila dapat dibuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat tindakan pihak ketiga. Namun asas pertanggungjawaban mutlak menjadi dasar keharusan bagi pelaku pencemaran membuktikan tidak adanya hubungan causality dengan pencemaran yang terjadi.
Secara filosofis aturan hukum pertanggungjawaban mutlak adalah agar terjadi keadilan bagi pihak yang menderita langsung. Sebab pembuktian kesalahan terhadap suatu peristiwa yang dirasakan langsung sangatlah sulit dan rumit. Dan bisa berakibat sangat menguntungkan bagi pencemar atau perusak lingkungan. Terkecuali ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal pencegahan pencemaran melalui pendekatan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten maupun audit lingkungan (regulatory compliance audit atau environmental management system audit).
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009, Pihak-pihak penggugat sendiri tidak hanya korban pencemaran, tetapi juga dapat dilakukan oleh kelompok yang mendasari organisasinya di bidang lingkungan. Di samping Pemerinah Pusat juga pemerintah Daerah dapat mengajukan gugatannya.
Dengan demikian, harapan pertakutan ataupun penjeraan bagi pencemar dapat dirasakan. Dan tidak ada cara lain kecuali melakukan suatu usaha, pengembangan industri dan pembangunan pada pola yang benar yaitu tanpa merusak lingkungan.

Hukum Lingkungan dan Soal Dampak Pembangunan Daerah dan Kota
Filosofis Hukum dalam UUPLH bukan hanya persoalan pencemaran akibat industri tetapi juga terhadap persoalan lain seperti akibat pembangunan daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sering melupakan kondisi ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia. Harus ada pertimbangan yang perimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologis. Jika tidak, bisa terjadi pemanfaatan ruang dan SDA yang tidak terkendali, serta tumpang-tindihnya (overleaping) peruntukan ruang apalagi jika tak disertai langkah-langkah antisipatif dan perbaikan. Akibatnya daerah itu sendiri yang menanggung resiko terkurasnya sumber daya alam di daerahnya yang bila tidak diatur berdampak kemiskinan masyarakat daerah. Misalnya tentang pemanfaatan air bagi pembangunan daerah dan kota maupun usaha seperti tersebut dalam pasal  21 pada UU No. 7 tahun 2004, sbb :
(1)  Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
(2)  Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.     pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b.     pengendalian pemanfaatan sumber air;
c.     pengisian air pada sumber air;
d.     pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e.     perlindungan sumber air dalam hubungan­­nya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f.       pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g.     pengaturan daerah sempadan sumber air;
h.     rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i.       pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
Maka dengan pemahaman demikian, pemeliharaan, perlindungan dan pelestarian air mutlak selalu ada dan harus diperhatikan oleh pelaku usaha, pemerintah daerah dan kota dalam pembangunan.
Akibat proses desentralisasi, demokratisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi seringkali banyak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pada kenyataannya, suatu daerah biasanya diukur dari ketersediaan sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi biasanya diprioritaskan pada tingkat pertama (sehingga kurang memperhatikan aspek lingkungan) karena dianggap penting untuk peningkatan jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh suatu daerah guna memenuhi kebutuhan penduduknya padahal Sumber daya alam memiliki peran ganda yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistim kehidupan. Meskipun seringkali lingkungan menjadi terabaikan, rusak dan tercemar.
Sementara lain, di samping pembangunan daerah,  dampak negatif lajunya pembangunan kota memiliki dimensi yang luas, hal itu disebabkan kompleksnya  tuntutan,  kebutuhan,  dan  kepentingan  masyarakat. Di sisi lain sumber daya pembangunan yang dikelola masih sangat terbatas. Hal ini mendorong perlunya Pemerintah Kota merumuskan kebijakan dan melaksanakannya secara konsisten dalam rangka mewujudkan tujuan – tujuan pembangunan yaitu untuk tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum lingkungan.
           Berangkat dari kenyataan demikian, baik pemerintah daerah maupun kota haruslah memahami keterbatasan sumber daya alam. Hal inilah yang menjadi filosofis utama sehingga mengapa diadakan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan. Setidaknya mereka harus memahami makna Lingkungan yang harus dijaga atas segala macam pembangunan di daerah dan kota, sbb :
  1. Hukum Lingkungan dengan konsep berwawasan lingkungan menghendaki agar pembangunan maupun prosesnya seperti industri, ekploitasi, pembangunan rumah, tata kota-desa, dll adalah harus tidak semata untuk tujuan ekstraktif seperti penambangan, penggalian, kepentingan sesaat pemerintah dan pengusaha yang sering melakukan pencemaran.
  2. Hukum Lingkungan tidak menghalangi adanya sumber masukan Pemerintah untuk proses produksi hayati (pertanian, kehutanan, dll.) yang seyogyanya tetap diberdayakan semaksimal mungkin namun jangan melupakan tetap menegakkan hukum lingkungan dan yang hukum yang terkait dengannya.
  3. Hukum Lingkungan harus diletakkan pada posisi teratas atas alasan apapun, baik ekonomi, pembangunan, sosial, budaya, maka pemerintah daerah maupun kota tidak boleh menghilangkan atau merusak atau mencemari sumber daya genetik maupun cagar peninggalan alam (PP  No. 21 tahun  2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik) termasuk sanitasi dan penyehatan (pembuangan limbah, taman, dll.). hal ini Bertujuan agar limbah tidak merusak lingkungan sumber daya alam (UU N0.23 tahun 1997 dan UU No. 32 tahun 2009).

Penutup
          Upaya Penegakan hukum dapat dilalui dalam dua metode yaitu metode konvensional dan metode pendekatan hukum. Kedua metode pendekatakan ini harus tetap dipertahankan dan sesungguhnya saling bersinergi. Metode konvensional sesungguhnya akan lebih memberikan kesadaran pada masyarakat-sosial budaya. Sedangkan pendekatan hukum akan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban seperti dengan hadirnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebelumnya berlaku UU No. UU N0.4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan yang terkait antara lain UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, UU N0.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU N0.4 tahun 2009 tentang Minirba, UU N0. 22 tahun 2001 tentang Minyak & Gas bumi, UU N0. 24 TAHUN 1992 tentang Tata ruang, UU No.7  tahun 2004 tentang sumber daya air, UU No. 27  tahun 2003 tentang Panas Bumi, PP No. 42 tahun 2008 tentang pengelolaan sumber daya air, PP  No. 21 tahun  2005 tentang keamanan hayati dan rekayasa genetik.
Salah satu kemajuan dan pengembangan hukum (dalam metode pendekatan hukum) adalah diberlakukannya asas Strict Liability dalam Hukum Lingkungan (Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 jung to pasal 35 UU No.23 tahun 1997. Dalam asas pertanggungjawaban mutlak ini akan memudahkan bagi korban pencemaran untuk melakukan gugatan. Konsep tanggung jawab mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya pembuktian kesalahan tetapi harus dibuktikan oleh pelaku pencemaran atau perusak lingkungan.
          Upaya lain adalah upaya konvensional yang dikehendaki peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan adalah agar setiap pembangunan maupun proses pembangunan itu sendiri harus selalu berwawasan lingkungan, tanpa merusak sumber daya alam, cagar dan pengupayaan sumber daya alam dapat terus dinikmati dan dilestarikan.

BAHAN BACAAN

Azhar, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Palembang, Universitas Sriwijaya, September, 2003.
Djajadiningrat, Surna T., Hukum Lingkungan, Jurnal Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta.
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley, Social Work: An Empowering profession, Boston: Pearson, edisi ke-5, 2005.
Eggi Sudjana Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektif Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999.
Erwin, Muhamad, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008. 
Faiz, Pan Mohamad, Perubahan Iklim Dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi , paper position  pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009.
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
I Nyoman Nurjaya, Proses Pemiskinan Di Sektor Hutan Dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sistem Hutan Kerakyatan, Sebuah Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural Sektor Kehutanan, yang diselenggarakan KpSHK dan KIKIS pada tanggal 18-20 Januari 2000 di Puncak Inn Resort Hotel, Puncak, Jawa Barat.
-----------------------, Pengelolaan Sumber Daya Alam, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008
-------------------, Hukum Lingkungan, kumpulan Makalah, Penerbit Pasca Sarjana Untag Surabaya, 2009.
Reksodiprodjo, Sukamto, Pradono , Ekologi Sumber Daya Alam dan Energi, 1968, BPFE, Yogyakarta.
Randall, A. 1987. Resource economics. John Wiley & Son. New York. Xiii
Renwarin, Yan, makalah dalam seminar Peran Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Pembangunan Nasional, Sunday, 01 July 2007, atau dalam http://www.yplhc.org/modules. php?name=News&file=print&sid=105
Suparmoko. M.,  Ekologi Sumber Daya Alam dan Lingkungan., 1994, BPFE, Yogyakarta.
Saptomo, Ade, Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam antar Pemerintah daerah dan implikasi hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 2, September 2006.
Salim, Emil, “Jika Iklim Berubah”, dalam Daniel Murdiyarso,  Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. 
Soemartono, R.M. Gatot P., Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. 
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. 
Menard, H.W. 1974. Geology, resources, and society. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Xi.
Matthias Finger, “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional  Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, eds.,  The Crisis of Global Environmental  Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2006.
Suharto, Edi “Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam Pusaran Desentralisasi dan Good Governance”, makalah yang disampaikan pada Semiloka Kompetensi Sumberdaya Man usia Kesjahteraan Sosial di Era Desentralisasi dan Good Governance, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Banjarmasmn 21 Maret 2006



[1] Cf, banyaknya kasus rusaknya alam lingkungan di berbagai daerah Indonesia. Seperti di Kalimantan dan terkhusus di Kalimantan selatan, baik karena penebangan hutan, pertambangan maupun pembangunan rumah yang telah merambah pada lading tanam masyarakat. Di daerah lain seperti di Irian Jaya seperti yang terungkat dalam dalam seminar Peran Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Pembangunan Nasion, Sunday, 01 July 2007, Dr. Ir. Yan Renwarin M.Sc menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa ternyata lebih dari 80 % rumah tangga Papua miskin, ironisnya karena SDA Papua sangat kaya tetapi mulai terlihat rusaknya lingkungan, sementara Pembangunan di Papua bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Lih. http://www.yplhc.org/modules. php?name=News&file=print& sid=105
 [2] Matthias Finger, “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional  Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, eds.,  The Crisis of Global Environmental  Governance: Towards a New Political Economy of Sustainability, Routledge Taylor & Francis Group, New York, 2006, hlm. 125.
[3] Ade Saptomo, Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam antar Pemerintah daerah dan implikasi hukumnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 2, September 2006: 130 - 144
[5] I Nyoman Nurjaya, Proses Pemiskinan Di Sektor Hutan Dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sistem Hutan Kerakyatan, Sebuah Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural Sektor Kehutanan, yang diselenggarakan KpSHK dan KIKIS pada tanggal 18-20 Januari 2000 di Puncak Inn Resort Hotel, Puncak, Jawa Barat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, h. 155
 [6] Sejak tahun 1997 hingga akhir 2006, persoalan kebakaran hutan melanda daerah-daerah di Indonesia. Di Kalimantan kabut asap sempat menjadi masalah nasional. Kerugian materil dalam perhitungan sumber daya alam dan ekonomi sudah tak dapat dihitung.
[7] I Nyoman Nurjaya,260 Menuju Pengelolaan Hutan yang Berorentasi pada Kesejahteraan Masyarakat Desa di Sekitar Hutan, Makalah 1999 di UGM atau dalam Lok. Cit. Pengelolaan Sumber Daya Alam, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, h. 260
 [8] Cf, Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia sedikit lebih rumit. Pasalnya, Orde Baru mewariskan pemerintahan yang lemah, tidak transparan dan penuh KKN. Akibatnya, terjadi pengurasan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan yang seterusnya memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik penggunaan sumber daya alam, dan terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan terbatasnya dana dalam mengelolaan lingkungan hidup. Parahnya lagi atas nama upaya maksimal keluar dari krisis ekonomi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kebocoran ekonomi yang sudah demikian berat. Lih. Dalam  Melaksanaan Pembangunan Berkelanjutan Dengan Menegakkan Hukum Lingkungan Bagi Pencemar, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah - 05 Jun 2002
[9] Randall, A. 1987. Resource economics. John Wiley & Son. New York. Xiii, p. 434.
[10] Menard, H.W. 1974. Geology, resources, and society. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Xi , p. 621.

Rabu, 10 November 2010



Jurnal Konstitusi : Volume III Nomor 2, Nopember 2010
Judul Tambahan    PKK Fakultas Syariah IAIN Antasari
Penulis et.al
Cooperate  Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Syariah IAIN Antasari
Penerbit Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kota Terbit Jakarta
Tahun Terbit 2010
ISBN/ISSN 1979-651X
Seri No. 2
Volume III

  • Perkembangan Mekanisme Pemerintahan Daerah Dalam Sistem Demokrasi di Indonesia, Jalaluddin, adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, sekarang sedang menempus S3 di UUM (Universitas Utara Malaysia)
  • Implementasi Perda dalam Hubungannya dengan Negara Hukum Pancasila (Studi Terhadap Perda Syariat Islam pada Hukum Lokal), Hayatun Muhammad,  adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, sedang menempuh S3 di UII Yogyakarta.
  • Konstitusi yang Berkeadilan, Perspektif Qur`ani, Rahmat Solihin, adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.
  • Penegakan Hukum Lingkungan dalam Pembangunan dan Industrialisasi (Penegakan Hukum dan Pemberlakukan Asas Strict Liability), Akhmad Sukris Sarmadi, adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, sekarang sedang menempur S3 pada Fakultas Hukum Untag Surabaya dan ketua LKBH Fakultas Syariah IAIN Antasari.
  • Peralihan Kekuasaan Empat Khalifah Rasyidiah dalam perspektif Sejarah Islam. Fuad Luthfi, adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin.


Minggu, 29 Agustus 2010

Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
A. Ahsin Thohari

Abstract
The Judicial Commission was established pursuant to Article 24B Third Amendment of the 1945 Constitution which states there shall be an independent Judicial Commission which shall possess the authority to propose candidates for appoinment as justices of the Supreme Court and shall possess further authority to maintain and ensure the honour, dignity and behaviour of judges. In the process, despite the existence of the Judicial Commission is set explicitly in the Constitution of Republic of Indonesia State Years 1945, but not necessarily be a state institution which has superpowers, especially after the Decision of the Constitutional Court Number 005/PUU-IV/2006, which read out in plenary session, August 23, 2006.

With the Constitutional Court's decision, the JudicialCommission existence becomes less relevant in the Indonesian state administration system if the authority is only proposing the appointment of justices to the House of Representatives, “a small authority" which should only be played by a committee specially and temporary created (ad hoc committee), not by a permanent state institution which derives its authority directly from the Constitution (constitutionally based power). Nevertheless, the Judicial Commission was saved by the presence of two laws, namely Law Number 3 Year 2009 on Second Amendment of Law Number 14 Year 1985 on Supreme Court and Law Number 48 Year 2009 on Judicial Power wich are determines the supervision of the Judicial Commission.

This paper intend to discuss some important aspects of the Judicial Commission after the ideas at the level of the constitution implemented and certainly after the Constitutional Court amputate the supervision authority of the Judicial Commission. Strengthening the Judicial Commission, the independence of judges versus public accountability, and checks that verdict is three things that the main concern of this paper.


Abstrak
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah “wewenang sumir” yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power). Meskipun demikian, Komisi Yudisial masih terselamatkan oleh hadirnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial. Tulisan ini bermaksud mendiskusikan beberapa aspek penting Komisi Yudisial setelah gagasan-gagasan pada tingkat konstitusi diimplementasikan dan tentunya setelah Mahkamah Konstitusi mengamputasi kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Penguatan Komisi Yudisial, independensi hakim versus akuntabilitas publik, dan pemeriksaan putusan hakim adalah tiga hal yang menjadi perhatian utama tulisan ini.


A. Pendahuluan

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat menggarisbawahi, Pasal 24B Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945 ini hadir karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.[1]

Pengaturan Komisi Yudisial di dalam konstitusi ini dianggap tepat oleh beberapa kalangan, mengingat ide dasar dari pembentukan Komisi Yudisial adalah bahwa pengadilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup (judicial corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-nilai keadilan, seperti memperdagangkan perkara yang telah terjadi secara sistematis, sehingga muncul istilah “mafia peradilan”. Praktik-praktik tersebut semakin menggejala ketika pengawasan internal tidak mampu mengendalikannya dengan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Komisi Yudisial kemudian dibentuk dengan semangat untuk mengembangkan sistem pengawasan eksternal.

Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan represif sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang muncul dari frasa “... mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B.

Dengan latar belakang demikian, pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 sudah tepat dan cukup, sehingga sebenarnya UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang cukup bagi efektivitas kinerja sebuah lembaga yang diidealkan akan menjadi pengawas eksternal.

Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam UUDNRI Tahun 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan 23 Agustus 2006. Hal ini, diakui ataupun tidak, merupakan akibat dari tidak maksimalnya penormaan pada tingkat undang-undang yang merupakan atribusi langsung dari Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945

Patut disayangkan memang, Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim–selain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung–harus menerima kenyataan pahit bahwa wewenang pengawasan tidak dapat diimplementasikan sesuai amanat konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusionalitas payung hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20, pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.[2]

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).[3] Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan yang diputus bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan pasal-pasal inti (core provisons) Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut, saat ini tidak ada lagi ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim. Singkatnya, saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang pengawasan eksternal hakim.

Memang, saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung[4] dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman[5] yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial. Akan tetapi, hal ini belum terasa cukup untuk menjadi payung hukum keberadaan fungsi pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini mengingat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga mengamanatkan adanya revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang hingga saat tulisan ini dibuat belum ada tanda-tanda kemauan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk membuat persetujuan bersama atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR, sebuah “wewenang sumir” yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power). Dengan adanya putusan tersebut, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas pernah menyatakan bahwa Komisi Yudisial belakangan ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam mengawasi perilaku hakim, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir beberapa kewenangan Komisi Yudisial.[6]

Secara akademis, putusan itu masih dapat diperdebatkan di ruang wacana. Akan tetapi, sebagai sebuah putusan pengadilan putusan Mahkamah Konstitusi berada dalam jangkauan asas res judicata pro veritate habetur atau de inhoud van het vonnis geld als waard (apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar). Celakanya, pembentuk undang-undang (de wetgever), Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, tidak memiliki sensitivitas politik dan dukungan politik yang cukup untuk menyelamatkan Komisi Yudisial dengan merevisi Undang-Undang Komisi Yudisial sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi.
Tulisan ini bermaksud mendiskusikan beberapa aspek penting “yang tersisa” dari Komisi Yudisial setelah gagasan-gagasan pada tingkat konstitusi diimplementasikan dan tentunya setelah Mahkamah Konstitusi mengamputasi kewenangan pengawasan Komisi Yudisial.

B. Penguatan Komisi Yudisial

Pembentukan Komisi Yudisial di sebuah negara dengan segenap kewenangan yang diberikan kepadanya tentu sangat ditentukan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Oleh karena itu, tidak ada kesamaan Komisi Yudisial di suatu negara dengan Komisi Yudisial di negara lain. Terkait hal itu, beberapa persoalan yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan, fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan, dan mekanisme pengawasan Komisi Yudisial harus mendapatkan penjelasan yang memadai. Pada titik ini penulis ingin mengemukakan beberapa hal terkait dengan penguatan Komisi Yudisial di masa yang akan datang.

Pertama, dalam perspektif hukum tata negara, secara kelembagaan, Komisi Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan yang diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Selain itu, berbeda dengan komisi-komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUDNRI Tahun 1945.[7]

Pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang disebut Komisi Yudisial.[8]

Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih menempatkan Komisi Yudisial sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparring partner) yang selain mencari kesalahan juga bisa memberikan penghargaan terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang didesain secara tidak maksimal oleh Undang-Undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Ini berbeda dengan konstitusi Italia, misalnya, selain berwenang melakukan pengangkatan dan pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.[9] Jadi, peran Komisi Yudisial sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-represif, tetapi juga konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara nomenklatur untuk Komisi Yudisial adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur dalam konstitusi kita. Semestinya Undang-Undang Komisi Yudisial perbaikan kelak dapat mengatur fungsi ini.

Meskipun demikian, dengan berpijak pada kenyataan bahwa mengubah konstitusi tidak mudah, kelemahan-kelemahan pengaturan pada tingkat konstitusi dapat diminimalisasi dampaknya apabila pengaturan pada tingkat undang-undang dapat menerjemahkan kedudukan, wewenang, dan tugas Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, saat tulisan ini dibuat, terdapat momentum berupa revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

Beberapa pihak menginginkan agar Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan sekedar kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Perluasan kewenangan yang patut mendapat pertimbangan adalah mutasi dan promosi hakim. Di negara-negara yang memberikan kewenangan secara terbatas terhadap Komisi Yudisial pun mengenal adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini dimiliki oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Selatan semacam Prancis, Italia, Spanyol, dan Potugal.[10]



C. Independensi Hakim Versus Akuntabilitas Publik

Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008, penulis menyatakan bahwa dalam kekuasaan kehakiman setidaknya terdapat 2 (dua) rezim konsep yang sekilas mungkin dapat dipahami sebagai kontradiktif antara satu dengan lainnya, yakni konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (independence and impartial judiciary) di satu sisi dan konsep akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun.

Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya.

Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.

Dalam pandangan John Ferejohn, independensi peradilan adalah sebuah konsep yang relatif, bukan absolut. Selengkapnya, Ferejohn menyatakan:

”One definitional problem is that judicial independence is a relative, not an absolute, concept. The following definition of ‘dependency’ highlights the relative nature of judicial independence: in [A] person or institution [is] … dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group.”[11]

Dengan demikian, independensi peradilan adalah keadaan di mana peradilan dapat atau sanggup menjalankan tugasnya tanpa memiliki ketergantungan pada pihak lain. Relativitas konsep independensi peradilan ini akhirnya memang selalu memicu perdebatan yang pada akhirnya diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.

Dalam perkembangannya, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas publik (public accountability). International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan sebagai berikut:

It should be recognised that judicial independence does not render the judges free from public accountability, however, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges. [12]

Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.[13]

Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem". Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).[14]

Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani Kekuasaan Kehakiman”. Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan akuntabiltas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.[15]

Sistem akuntabilitas kekuasaan kehakiman ini pula yang menjadi dasar pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia. Oleh karena itu, studi yang pernah dilakukan oleh Asian Development Bank yang disampaikan oleh the Asia Foundation mengenai keadaan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, menyatakan bahwa “... the establishment of a Judicial Commission is intended to introduce a system of accountability.”[16]



D. Pemeriksaan Putusan Hakim

Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008, penulis juga menyatakan, salah satu hal yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi besar adalah perihal apakah frasa “... wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” berarti juga memperbolehkan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim. Dalam praktiknya, Komisi Yudisial telah melakukan penelitian putusan hakim di sejumlah daerah bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.[17] Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menyatakan bahwa pemeriksaan atau penelitian putusan hakim itu dapat dilakukan Komisi Yudisial dengan alasan bahwa menurut hukum acara putusan hakim yang telah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum menjadi hak publik (public right), sehingga publik mempunyai hak untuk menelaah putusan tersebut, bukan mengubah putusan. Pemeriksaan putusan oleh Komisi Yudisial merupakan entry point untuk mengetahui apakah hakim melanggar kode etik atau tidak.

Kalangan hakim merasa keberatan dengan pemeriksaan putusan ini. Hal ini mengingat pengawasan Komisi Yudisial tidak boleh masuk ke dalam teknis yudisial. Akan tetapi, ada juga yang berpandangan bahwa Komisi Yudisial dapat memeriksa putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde).

Aktivitas melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim semacam ini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, sudah keluar dari pengertian pengawasan yang harus diartikan hanya sebagai pengawasan etik. Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa "dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial, secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Padahal, norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van hetvonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kalaupun misalnya Komisi Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim, sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan wewenang Komisi Yudisial berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen).

Tegasnya, tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang berupa menggali informasi sebanyak mungkin rekam jejak seorang hakim. Segala logika hukum yang dibangun oleh seorang hakim dalam sebuah putusan dan dissenting opinion seyogianya menjadi salah satu aspek penting bagi Komisi Yudisial untuk menjaring hakim tertentu yang akan diusulkannya menjadi hakim agung kepada DPR. Patut dipertimbangkan pula, misalnya, putusan hakim yang menangani perkara yang kurang lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama, tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda. Dalam perkara pidana, misalnya, sering dijumpai adanya penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan yang kurang lebih sama, namun pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim mempunyai selisih yang signifikan. Hal ini lazim disebut dengan “disparitas pidana” (sentencing disparity). Aaron J. Rappaport menyatakan bahwa “... sentencing disparity ... occurred when similarly situated offenders received disparate sentences.” [18]

Menurut Muladi, disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan sanksi pidana yang berbeda-beda tanpa alasan rasional (unwarranted), baik terhadap tindak pidana yang sama maupun tindak pidana yang kurang lebih sama ancaman pidananya. Disparitas pidana menimbulkan sikap tidak puas bagi terpidana, keluarganya, dan bagi praktik penegakan hukum serta pendidikan hukum. Disparitas pidana ini bertentangan dengan salah satu prinsip supremasi hukum, yakni penerapan hukum harus menjunjung tinggi equality, justice, dan certainty. Selain itu, di berbagai negara, disparitas pidana selalau dikaitkan dengan diskriminasi yang diartikan sebagai preferential treatment of a person or a group of people based on certain characteristics such as religion, race, gender, political opinion, property, status, colour, etc. [19]

Di beberapa negara, terjadinya “disparitas pidana” ini meresahkan para pencari keadilan, karena sangat mengganggu kepastian hukum dan dapat merusak kredibilitas lembaga peradilan. Untuk mengurangi terjadinya “disparitas pidana” ini, beberapa negara membentuk lembaga semacam sentencing commission untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” dalam putusan hakim. Di negara lain, untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” ini, dibentuk judicial service commission.

Dengan demikian, tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial sebaiknya tidak dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial, melainkan aspek rekrutmen hakim. Jadi, hakim yang dalam putusannya mengandung “disparitas pidana”, misalnya, dan dinilai mencederai nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan menjadi catatan Komisi Yudisial apabila ia memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi hakim agung. Tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial yang dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial hanya akan menuai resistensi dari kalangan hakim dan telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “sudah keluar dari pengertian pengawasan etik”.

Akan tetapi, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.” Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mutasi” dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi. Penulis khawatir bahwa ketentuan ini akan rawan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi karena dapat disimpulkan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemeriksaan putusan sudah keluar dari pengertian pengawasan etik.



E. Penutup

Merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, beberapa kesimpulan dapat ditarik sebagai penutup tulisan ini. Pertama, kata kunci yang harus selalu dipegang ketika Undang-Undang Komisi Yudisial akan direvisi adalah bahwa Komisi Yudisial sebenarnya tidak semata-mata memiliki kewenangan di ranah preventif-represif an sich, tetapi juga kewenangan di ranah konsultatif-protektif. Itu sebabnya fungsi-fungsi pelayanan Komisi Yudisial terhadap hakim dan kekuasaan kehakiman pada umumnya harus lebih mengedepan sebagaimana tercermin dalam Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial Service Commission) di beberapa negara. Fungsi ini dapat menjadi bagian integral dalam upaya penguatan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Kedua, gagasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak perlu dipertentangkan dengan gagasan akuntabilitas publik. Keduanya merupakan dua gagasan yang komplementer satu sama lain. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak berarti menafikan akuntabilitas publik. Oleh karena itu, pembentukan Komisi Yudisial yang salah satu peranannya adalah menjadi medium akuntabilitas publik dengan bentuk pengawasan eksternalnya adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam rangka reformasi peradilan.

Ketiga, sekali lagi, apabila Komisi Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim, sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan wewenang Komisi Yudisial berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen).

***




Daftar Pustaka

ANS, “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas, Edisi Senin, 23 April 2007,

Asshiddiqie, Jimly, Bagir Manan, et. al. Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

Ferejohn, John. “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72 Southern California Law Review 353, 1999.

International Bar Association. International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence. The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2006. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2006.

Lotulung, Paulus E. “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “Penegakan hukum dalam era pembangunan berkelanjutan”, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003.

Muladi. “Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing)”. Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Peserta Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Angkatan II, diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, 5 Juni 2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006.

Rappaport, Aaron J. “Unprincipled Punishment: The U.S. Sentencing Commission’s Troubling Silence about the Purposes of Punishment”, Buffalo Criminal Law Review. Vol. 6:1043, January 22, 2004.

Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU Nomor 3 Tahun 2009, LN No. 3, TLN 4958.

_______. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 Tahun 2009, LN No. 157, TLN 5076.

The Asia Foundation. Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries. Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003.

The Constitution of Italy, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994.

Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera. Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.

_______. “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau Puslitka MK RI, di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005.

Voermans, Wim. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002.



End Note:
[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm. 195.

[2] Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006.

[4] Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, LN Nomor 3, TLN 4958.

[5] Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN 5076.

[6] ANS, “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas, Edisi Senin, 23 April 2007, hlm. 3.

[7] A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006, hlm. 34.

[8] A. Ahsin Thohari, “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”, (makalah disampaikan dalam Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau Puslitka MK RI, di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005), hlm. 1.

[9] The Constitution of Italy, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994.

[10] Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-LeIP, 2002), hlm. 13.

[11] John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72 Southern California Law Review 353 (1999) sebagaimana dikutip The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 2.

[12] International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India.

[13] Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et. al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 24.

[14] Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, (makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “Penegakan hukum dalam era pembangunan berkelanjutan”, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003, hlm. 7.

[15] Ibid., hlm. 8-9.

[16] The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 53.

[17] Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2006, op. cit., hlm. 52.

[18] Aaron J. Rappaport, “Unprincipled Punishment: The U.S. Sentencing Commission’s Troubling Silence about the Purposes of Punishment”, Buffalo Criminal Law Review, Vol. 6:1043, January 22, 2004, hlm. 8.

[19] Muladi, “Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing)”, (makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Peserta Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Angkatan II, diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, 5 Juni 2008), hlm. 1.