Rabu, 15 Juni 2011

Ketakberdayaan Formalisme Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi: Membangun Progresvitas Penegak Hukum

Jurnal Hukum Konstitusi Vol. IV N0.1, Juni 2011

Ketakberdayaan Formalisme Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi:
Membangun Progresvitas Penegak Hukum
Akhmad Sukris Sarmadi
Fakultas Syariah IAIN Antasari

State Indonesia represent State which included in highest ranking corruption besides most Asian State and African. From 163 State in world, since year 2006 Indonesia reside in rangking 27 and rangking 10 in Asia. Year medium 2005 residing in rangking 17 and 6 in Asia. There is many factor making this difficult State secede from corruption lassoing. Perhaps not merely problem of just bureaucracy the giving gap the happening of corruption, lack of akuntabilitas, professionalism and or rule of law but also problem of society culture deputized by weak legislative body. Equally, weaken him of control the institute make executive institute don`t feel to be observed.

Keyword : Korupsi,formalisme hukum, tindak Pidana Korupsi, hukum progresif

Pendahuluan

Pemberlakuan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah salah upaya bangsa Indonesia untuk mengikis segala bentuk tindak pidana korupsi di Indonesia. Sejak pemberlakuan UU No. 31 Tahun 2009 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih dirasakan kurang sempurna sehingga diperlukan UU tentang pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diupayakan pemaduan antara hakim karier dengan hakim ad hoc yang dipilih di kalangan sarjana dan profesional hukum. Sebahagian pengamat hukum cara ini sudah dianggap baik namun tetap saja dianggap tidak akan mampu sempurna memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini. Sebab kejahatan yang tidak dapat dibuktikan (invisible crime) yang sebagian besarnya pada tindak pidana korupsi dipastikan tetap tak dapat dijerat hukum formil yang berlaku di Indonesia.
Sejak tahun 70-an diskusi tentang korupsi telah banyak dilakukan. Dalam banyak diskusi selalu tercermin bahwa korupsi bukan hanya mengganjal sistem pemerintahan yang menuju pemerintahan yang baik saja (good governance) namun juga berdampak pada kerkendalanya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan sehingga pemerintah tidak akan mungkin mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai mana yang diharapkan dalam sistem pemerintahan khususnya di Indonesia. Jika Mauro benar bahwa semakin tingga ILF (index ethnolinguistic fractionalization) suatu negara semakin mudah pecah negara tersebut dan makin tinggi kecendrungan korupsinya. Dan Indonesia termasuk negara memiliki tingkat tertinggi tindak pidana korupsinya. Dengan kenyataan lainnya pula, dewasa ini semakin berkurangnya investasi di Indonesia menunjukkan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa Undang-Undang tidak pidana korupsi di Indonesia dan sekarang mulai lagi dirintis Undang-Undang baru tentang tindak pidana korupsi. Bukan hanya makna korupsi yang kian diperluas, kelak ahli waris koruptor juga bisa diperkarakan. ”Koruptor akan lebih sulit untuk lolos dari jerat hukum,” tutur Andi Hamzah, ketua tim revisi undang-undang tersebut. Sejumlah jerat baru buat koruptor itu tertuang dalam naskah rancangan perubahan atas Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pekan lalu telah rampung dibahas. Rancangan ini mengikuti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi alias United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Salah satunya adalah adanya ketentuan untuk mengajukan gugatan perdata. Koruptor yang meninggal dunia atau melarikan diri ke luar negeri serta memperkaya diri secara melawan hukum, maka bisa dituntut secara perdata secara kilat (3 hari) sehingga hartanya bisa diambil oleh negara.[1]
Sekarang ini telah digodok upaya pembuatan UU baru tindak pidana korupsi di Indonesia guna melengkapi Undang-Undang tindak pidana korupsi sebelumnya dan menyesuaikan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).  Persoalan yang mendasar adalah apakah dengan Undang-Undang baru tindak pidana korupsi akan mampu menjerat pelaku tindak pidana korupsi secara benar dan adil? Atau justru suatu tindakan bumerang baru di mana hukum justru memperlambat pembangunan dan menghukum pelaku-pelaku kelas teri dan tetap meloloskan orang-orang kuat di negeri ini. Dikatakan memperlambat pembangunan adalah saat setiap birokrat pemerintahan menjadi takut melakukan kebijakan pembangunan lantaran takut dituduh korupsi dan melakukan kesalahan. Sementara pelaku korupsi yang sering disebut dengan ``kerah putih`` tetap lolos karena bersembunyi di balik baju ``formalisme hukum`` yang selalu diagungkan di negeri ini.
Boleh jadi UU No. 31 tahun 1999 maupun UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi justru menemukan persoalan ketika dianggap tidak selaras dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Munculnya UU No. 7 Tahun 2006 sebagai Undang-Undang yang sekedar mengesahkan konvensi Internasional sesungguhnya hanyalah keresahan hukum di negeri ini karena korupsi telah sangat merajalela. Berdasarkan data terakhir yang diperoleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2005, menurut data Political Economic and Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Dalam bagian menimbang UU No. 7 Tahun 2006 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama intemasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi.
Sejarah (UNCAC) tak lepas dari diskusi internasional selama ini. ``The First International Conference on Coruption and Economic Againts Government` adalah tema yang dibahas pada konferensi Internasional anti korupsi. Tema ini sesungguhnya merupakan pertama kali di dunia Internasional di bahas. pesertanya dari kalangan kriminolog, ekonom dan penegak hukum lainnya yang diadakan di Washington Amerika Serikat di tahun 1983. kemudian dengan tema yang sama untuk kedua kalinya diadakan di New York tahun 1985, kemudian konfrensi III di Hongkong pada tahun 1987, dan pada tahun yang sama di Sydnew, kemudian tahun 1992 di Amsterdam, tahun 1993 di Durban, tahun 2001 di Praha dan tahun 2003 di Seoul Korea Selatan.
Indonesia selalu ikut ambil bagian dalam konfrensi tersebut, setidaknya ambil bagian membicarakannya meskipun belum berani untuk mengadakan konfrensi lanjutan di Indonesia. Meskipun, bila dilihat dari rangking sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2006, tingkat korupsi Indonesia terlihat bergerak turun. Dari 163 jumlah Negara di dunia, tahun 1999 rangking Indonesia pada peringkat 3 (paling terkorup), tahun 2000 menjadi rangking 4, tahun 2001 kembali dalam ranking 3, kemudian tahun 2002 pada rangking 6, tahun 2003 menjadi rangking 11 dan tahun 2004 pada ranking 8, kemudian tahun 2005 pada rangking 7 dan terakhir tahun 2006 pada rangking 27.[2]
Permasalahan yang dibahas dalam konfrensi tersebut antara lain mengenai sebab-sebab atau sumber korupsi yang amat kompleks. Disebut kompleks karena bahasan korupsi ternyata sangat luas dan berkait dengan keseluruhan aspek kehidupan kultural kemanusiaan. Berbagai faktor utama yang berperan dalam tindak pidana korupsi pada umumnya adalah pengaruh budaya, ekonomi, akibat demontrasi, lemahnya integritas moral, lingkungan, pengawasan yang lemah, management yang tertutup, situasi politik, pemerintahan yang otoriter, peraturan hukum dan penegakannya yang kurang tegas dan konsisten serta norma-norma sosial lainnya termasuk sanksi yang tidak kondusif bagi pemberantasan korupsi.[3]
Meskipun Indonesia selalu mengikuti berbagai konfrensi Internasional tentang pemberantasan korupsi, bahkan sebagai negara hukum yang berarti hukum sebagai acuan dan dasar hidup bernegara hingga dalam menjalankan sistem pemerintahan adalah sangat ironis ternyata hingga sekarang fenomena kejahatan korupsi masih dominan terjadi di Indonesia. Seolah istilah ``negara hukum`` hanya persoalan yang tercatat dalam Undang-Undang tanpa ada implementasi yang berarti di lapangan. Dengan kata lain, para birokrat dan segala pejabat yang terkait terhadapnya masih berlomba-lomba untuk berebut kekuasaan dan korupsi. Ada banyak koruptor di Indonesia yang telah diadili namun tindak pidana korupsi tetap memainkan peranan dalam kehidupan birokrasi maupun politik dan ekonomi. Irham Buana Nasution[4] mengatakan bahwa perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu tantangan terbesar dalam abad ini yang harus dihadapi. Tak ada jalan pintas atau jawaban mudah untuk itu. Korupsi dalam hal tertentu, ada pada setiap masyarakat. Ia menjadi fenomena yang merebak sebagai tanda adanya penyimpangan dalam hubungan antar negara dan masyarakat. Cermatilah, betapa tiap hari kita disuguhi berita surat kabar, misalnya bahwa instansi pelayanan masyarakat telah digantikan oleh keserakan pribadi. Atau sistem integritas nasional yang dimaksudkan untuk menahan korupsi mengalami kegagalan.
Apa yang disampaikan Irham Buana di atas adalah realitas pada zaman modern seperti sekarang ini. Korupsi telah merebak diseluruh dunia. Ia bergulir bagai bola api yang datang ke semua negara. Globalisasi korupsi seperti tak dapat dihindarkan di dunia, termasuk di Indonesia.
Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan subkultur yang hidup subur di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan KKN inipun tumbuh subur di beberapa negara Asia dan Afrika. Bila kita mencermati hasil riset lembaga-lembaga Internasional, terbukti bahwa pada umumnya negara-negara tertentu di Asia dan Afrika menduduki ranking tertinggi dalam korupsi bila dibandingkan dengan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Di beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Prancis, KKN tidak dapat tumbuh subur disebabkan sistem kehidupan masyarakat yang demokratis di mana control parlemen Sangat kuat dan dalam penyenggaraaan negara mengedepankan transparansi (transparancy), profesionalisme (profesionalism), akuntabilitas (accountability), supremasi hukum (Supremacy of Law) dan Perlindangan Hak Asasi Manusia (HAM).[5]
Indonesia sendiri telah menganggap masalah korupsi merupakan masalah yang sangat serius. Bahkan karena dianggap begitu seriusnya masalah ini telah ditetapkan dalam Tap MPR No. VIII tahun 2001 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa permasalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan seiring dengan latar belakang itu pula telah melahirkan UU RI N0. 20 tahun 2001 (tanggal 21 Nopember 2001) tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai revisi dan perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pidana Korupsi. Revisi dan perubahan tersebut dilakukan karena UU sebelumnya dipandang kurang represif pada sanksi hukumnya sehingga banyak dilakukan perubahan pada sanksi hukumnya dengan tujuan untuk mempertakuti dan mengantisipasi merajalelanya korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Meskipun demikian, pada kenyataannya kejahatan korupsi di Indonesia hingga sekarang masih dan terus terjadi. Ini berarti UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi belum mampu menjadi instrument pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Birokrasi dan Otonomi Daerah : Membidik Korupsi di Pemerintahan
Persoalan yang mendasar tindak pidana korupsi adalah pada sistem pemerintahan di Indonesia yaitu masih terlihat lemahnya sistem kelembagaan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi dapat dilihat dalam berbagai hal. Struktur birokrasi yang masih hingga sekarang berbelit-belit merupakan biang kehidupan korupsi. Budaya transparansi birokrasi yang mulai dihidupkan terganjal oleh kurangnya antusias kaum birokrat sendiri atau pejabat yang berwenang. Budaya politik kita yang selalu berpolemik dalam perebutan kekuasaan ``egosenstrisme politik`` dan politik partai masih mewarnai disemua diskursus ``keIndonesiaan kini.`` ini jauh dari semangat kebersamaan untuk memikirkan politik masa depan anak bangsa menuju kehidupan yang lebih baik, duduk bersama dan merapatkan haluan keIndonesiaan. Semua ini kental dengan tumbuh subur berkembangnya budaya-budaya korupsi. Sisi lain, aspek kultural sekuler yang menjauhkan kehidupan beragama dalam kehidupan politik dan birokrasi. Akibatnya kaum yang berwenang merasa tidak bersalah jika melakukan tindak korupsi. Jauhnya kesadaran anggota badan legislatif untuk memberikan pengawasan maksimal atas kinerja eksekutif juga menjadi sebab berkembang kehidupan korupsi di negeri ini. Mengambil pendapat Shleifer bahwa akibat penyimpangan dana negara karena korupsi, maka keadaan itu lebih mahal dibandingkan pajak. Rationya, suatu negara jika tidak ada korupsi maka negara itu sanggup menanggung beban pajak rakyat.
Sejak berlakunya UU Otonomi Daerah UU N0. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disusul dengan UU N0.25 tahun 1999 tentang Pembagian perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah kemudian UU N0. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari karupsi hingga berlakunya UU N0. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata tidak mengurangi angka merajelalanya korupsi di Indonesia. Artinya populasi korupsi makin terasa dominan terlebih ditunjang dengan pemberlakukan otonomi daerah. Paradigma korupsi semakin mengkristal pada tipe-tipe tertentu dan semakin sistematik. Pada umumnya dahulu sebelum UU otonomi daerah, menurut Anang Arief Susanto, bentuk korupsi tersebut dapat berupa permintaan atau pemerasan uang suap, patronase (pemberian perlindungan), nepotismo, pencurian atau penggangsiran barang-barang publik untuk kepentingan pribadi antara lain dilakukan melalu swastanisasi perusahaan publik secara spontan dan tidak transparan, penggunaan peralatan atau sumber daya keuangan publik untuk kepentingan individu, pemilikan dana perusahaan daerah yang tidak terkontrol, memperoleh kredit tanpa mau mengembalikan, membayar gajih kepada orang yang tidak memberi kontribusi. Tipe korupsi lainnya adalah korupsi politik uang, misalnya prilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik perlemen melalui cara-cara illegal lobbying (teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).[6]
Berangkat dari kenyataan di atas, dalam dan terhadap sistem pemerintahan, korupsi memiliki pengertian tersendiri. Setidaknya dalam pengertian Shleifer dan Vishny (1993), korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Untuk kasus seperti ini, korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan.[7]
Pendapat di atas harus diakui banyak kebenarannya dan kenyataannya juga terjadi di Indonesia. Dalam harian umum Sinar Harapan[8] disebutkan, sbb :

Politik uang dan suap adalah bentuk transaksi haram yang sangat akrab dengan para elite ekonomi dan politik kita sejak zaman orde lama sampai era reformasi, terkhusus pada dalam sistem pemerintahan. Terminologi ekonomi menyebutkannya sebagai transaction cost. Sedangkan bahasa sosiologinya disebut korupsi.

Memperhatikan kenyataan tersebut, pengertian korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickback (penerimaan komisi secara tidak sah atau diam-diam) juga dinilai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi. Ini dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Ada banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam ini misalnya : tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan bidang kredit), embezzlement and misapropriation of fublic funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat) dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.
Bagaimana bentuk korupsi yang sesungguhnya terjadi di Indonesia dan sejauh bagaimana hukum kita mampu menjerat pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Sering orang berkata bahwa hukum pasti tertinggal dengan gerakan kejahatan. Demikian halnya dalam masalah korupsi. Dengan kata lain, ada banyak kemungkinan kejahatan korupsi tidak dapat dijerat oleh hukum yang berlaku di negeri ini. Meskipun disadari bahwa korupsi seolah menjadi budaya yang bersifat hegemonik tanpa dapat diberantas secara konprehensif. Atau justru aturan hukum memang sengaja dibuat untuk tidak memberantas kejahatan tertentu dalam korupsi. Setidak-tidaknya hanya dibuat untuk mengurangi saja kebocoran ekonomi yang lebih besar sambil melindungi pihak-pihak tertentu. Jika demikian, maka korupsi selamanya menjadi pajak-pajak siluman yang hanya dinikmati oleh segelincir orang. Dan selamanya ia menjadi benalu yang permanen untuk menghalangi cita-cita good goverment; kondisi pemerintahan yang baik.
Berangkat dari kondisi suram model suatu bangsa dan pemerintahan, paradigma korupsi setiap waktu memiliki perubahan-perubahan. Ia mengisi sisi luang dan lepas dari perhatian orang. Beragam kemasan sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan korupsi. Paradigma korupsi dapat berubah-rubah. Mungkin paradigma korupsi lama telah terbongkar dan terlalu terbongkar tetapi sekarang menjadi sempit dan berjalan pelan atau justru bahkan akan lebih besar dan semakin cepat berjalan. Bahkan yang uniknnya, peranan Undang-undang yang diberlakukan di negara ini terkadang justru menyuburkan tindak pidana korupsi atau menutupinya setidaknya kadang membuka celah untuk pelaku kejahatan pidana korupsi. Harian Tempo pernah mensinyalir pernyataan Hari Sabarno yang waktu itu sebagai Menteri Dalam Negeri mangatakan bahwa pemerintah mempersiapkan untuk penyempurnaan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang telah terbit UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Alasan penyempurnaan adalah menutup kerja anggota DPRD dalam memilih kepala daerah. Ia mengatakan,``DPRD selama ini telah diberi wewenang untuk memilik kepala daerah, namun kadang-kadang terjadi hal-hal yang ada kalanya kesannya tidak sesuai dengan aspirasi dan seterusnya, bahkan terjadi negoisasi tertentunya makanya nanti kita geser, memberikan hak memilih kepala daerah itu kepada rakyat.[9]
Sikap perubahan pemerintah tersebut terhadap UU Otda adalah jelas agar money politik dalam pemilihan kepala daerah tidak lagi terjadi di kalangan anggota legislatif. Intinya guna memangkas road to soft corruption DPRD. Meskipun dengan UU baru tentang Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004 tidak juga mampu membendung money politik. Sekarang cara bermainnya sudah berubah tetapi tetap pil manis dapat ditelan oleh pelaku kejahatan korupsi ; offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Bayangkan dengan UU Otda yang baru, money politik akan beredar di masyarakat secara langsung dan partai politik juga mendapat kebagian, jika mereka mau bermain. Seperti yang dikatakan sebelumnya, cara bermainnya mungkin berubah-rubah, tetapi pil manis tetap menjadi incaran mereka yang kerap diuntungkan karena keahlian mereka.
Korupsi rupanya tetap dapat memiliki jalan-jalan atas setiap aturan-aturan yang dibuat negara ini. Sebut saja UU Otda yang telah berubah berganti-ganti. Menurut Kustigar Nadeak (2003) bahwa desentralisasi fiskal juga inheren dengan undang-undang otonomi daerah (UU No. 22 thn. 1999) kemudian UU N0. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah dalam praktiknya bermuara pada desentralisasi korupsi. Dan itu pula terjadi pada UU N0. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bagian pada Penjelasan UU Pemerintahan Daerah berbunyi bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.  Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.  Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing  dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat dari penjelasan UUPD tersebut sangatlah jelas adanya kewenangan khusus bagi pemerintahan daerah. Dalam prakteknya, pejabat-pejabat di Pemerintahan Daerah semakin mudah mengurus kepentingan diri pribadinya. Baik untuk kepentingan karir dan jabatannya sehingga ia tidak perlu menggunakan suapnya datang ke Jakarta tetapi cukup di daerahnya sendiri. Dengan kata lain, akan ada paradigma korupsi baru di Pemerintahan Daerah. Tidaklah keliru jika pengamat mengatakan bahwa sekarang ini sudah terlahir raja-raja kecil di daerah provinsi dan kabupaten. Keadaan ini juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak swasta dalam pemberian upeti model baru mereka dan lebih mudah dilakukan serta dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh mereka tanpa takut adanya pengawasan pejabat eksekutif di tingkat provinsi.[10]
Kenyataan demikian, korupsi bagaikan benalu yang selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan apa dan bagaimana model berlakunya undang-undang di suatu Negara, maka saat itu pula model korupsi melakukan perubahan dengan paradigmanya yang baru. Para koruptor selalu mencari titik lemah suatu undang-undang yang berlaku di suatu Negara. Demikian halnya sejak berlakunya pengaturan otonomi daerah. Menurut Anang Arief Susanto, bahwa tantangan pemerintahan daerah adalah mengembangkan inovasi untuk membangun efektifitas, akuntabilitas dan keterbukaan untuk mencapai efesiensi pada pelayanan masyarakat. Hal ini tak mungkin dilakukan tanpa menghilangkan budaya korupsi. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan lebih baik dan luas untuk melayani masyarakat dengan semangat keterbukaan, disiplin dan transparansi fiscal, asal optimalisasi pengawasan terhadap korupsi terus ditingkatkan. Korupsi akan mempengaruhi alakasi sumberdaya daerah dan kualitas penampilan pemerintahan daerah. Konsekuensi korupsi adalah inefesiensi dan penurunan kualitas pelayanan public, peningkatan polarisasi (pertentangan) social, penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu, penanggulangan korupsi harus merupakan agenda utama yang paling krusial untuk mencapai pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efesien.[11]
Glendoh berpendapat bahwa korupsi direalisasikan oleh aparat birokrasi dengan perbuatan menggunakan dana kepunyaan Negara untuk kepentingan pribadi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum. Korupsi tidak selalu identik dengan penyakit birokrasi pada instansi pemerintah. Pada instansi swastapun sering terjadi korupsi yang dilakukan oleh birokrasinya. Demikian pula pada instansi koperasi. Korupsi merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korp dan tempat bekerja para birokrat. Dalam kaitan ini korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk, antara lain kolusi, nepotisme, uang pelancar dan uang pelican.[12]
Pada kenyataannya, korupsi sangat sulit diberantas, meskipun itu bukan berarti tidak mungkin. Peran hukum maupun lembaga yuikatif sangat mutlak berarti dalam pemberantasan korupsi. Meskipun juga harus ditunjang oleh budaya paradoktif terhadap korupsi. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (UU No.28 tahun 1999) memerlukan adanya penegak hukum yang kuat, jujur dan disiplin yang tinggi. Dengan kata lain, bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundang-undangan, selalu saja memerlukan moralitas para pelaksananya baik dalam arti aparat penegak hukumnya maupun masyarakat dalam arti luas.
Sejak masa orde reformasi (1999), suara dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia selalu menyuarakan kepada pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi, menindak segala koruptor untuk dihukum seberat-beratnya. Untuk memenuhi aspirasi tersebut, pemerintah bersama badan legislatif menyikapinya dengan memberlakukan UU N0. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. UU ini tidaklah cukup, maka diberlakukan lagi UU N0. 31 tahun 1999 dan UU N0.20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Bahwa koruptor harus dihukum. Meskipun sejak UU baru tentang korupsi telah diberlakukan, kejahatan korupsi masih saja terjadi hampir tidak dapat dibendung.[13]
Berbagai media masa mencatat beragam macam tindak pidana korupsi terjadi. Baik pada lapisan pejabat pemerintah (eksekutif), hingga lembaga legislatif hingga yudikatif. Segala perundang-undangan menyangkut korupsi seolah-olah hanya menjadi slogan dan topeng dalam sistem pemerintahan. Setidaknya hingga sekarang banyak masyarakat pesimis akan bangunnya bangsa Indonesia dari mimpi yang panjang dalam korupsi. Atau sepertinya peraturan perundang-undangan tersebut banyak kesalahan atau mungkin tidak dapat menjangkau kejahatan korupsi itu karena sudah terlalu mengakar dan mendalam pada jurang kebiasaan dalam budaya masyarakat itu sendiri. Bahkan pendekatan hukum dengan berbagai peraturan perundang-undangan anti korupsi bersifat terbatas, memerlukan bidang lain untuk dan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun, sesungguhnya harus disadari bahwa korupsi dalam konteks hukum di Indonesia adalah didasarkan pada pandangan hukum bukan ekonomi dan kinerja pemerintahan. Dengan kata lain, dalam azaz legalitas (principle of legality), bahwa hanya sebagian pelaku korupsi yang dapat dijerat dalam hukum yang terpatri dalam pasal-pasal kejahatan korupsi. Kejahatan yang tidak dapat dibuktikan (invisible crime) tak dapat dijerat hukum maupun tindakan kejahatan korupsi yang belum terpatri dalam hukum formil yang berlaku di Indonesia. Keahlian para penyidik pada kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi sangatlah mutlak diperlukan dan kemampuan untuk mengungkap kejahatan korupsi dalam segala bentuk dan rupa korupsi agar globalisasi korupsi menjadi tidak realitas.

Formalisme Hukum dan Lepasnya Kaum Koruptor; Membangun Hukum Progresif
Kejahatan yang tidak dapat dibuktikan (invisible crime) yang sebagian besarnya pada tindak pidana korupsi dipastikan tetap tak dapat dijerat hukum formil yang berlaku di Indonesia. Sedemikian itu pula yang mungkin terjadi jika Undang-Undang baru diberlakukan tentang Tindak Pidana Korupsi. Sebab formalisme hukum yang diberlakukan di Indonesia justru menjadi alat subur perlindungan hukum bagi koruptor. Sesuai pandangan formalisme sebagai aliran posotivisme maka negri ini masih melihat Undang-Undang sebagai alternatif terakhir memberantas korupsi.
Pengaruh doktrin hukum yang formalistik dalam cara pandang Positivistas menjadikan hukum kaku. Hal demikian seperti dikatakan B. Arief Sidharta bahwa ajaran murni tentang hukum sesungguhnya adalah ajaran hukum yang termasuk dalam aliran positivisme. Luijpen mengatakan bahwa ajaran hukum dari Hans Kelsen ini adalah bentuk yang paling aktual dari Positivisme Hukum. Sidharta menambahkan, dikatakan ``murni`` karena ajaran dari Hans Kelsen itu bersih dari unsur-unsur pengertian hukum Alam (hukum kodrat) yang cendrung memandang hukum sebagai hal ada dan sebagai ajaran atau teori tentang aturan-aturan hukum positif ia (ajarannya itu) dibersihkan dari penyelidikan-penyelidikan mengenai tingkah laku yang berlandaskan hukum kausalitas seperti sosiologi dan psikologi..[14] Positivisme menempatkan hukum hanya dianggap sebagai gejala normatif. I Gede A.B. Wiranata mengatakan bahwa pandangan hukum seperti demikian banyak dipengaruhi oleh oleh aliran filsafat hukum positivisme yang muncul pada abad XIX seperti tokohnya bernama Hans Kelsen dengan teorinya yang terkenal ``The Pure Theory of Law``.[15] Hans Kelsen sebagai penganut positivisme berpendapat, hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.[16] Lebih jauh ia mengatakan, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum seperti yang dibedakan dari keadilan, adalah hukum positif. Pembicaraan di sini adalah konsep hukum positif dan ilmu hukum positif harus dibedakan dengan tegas dari filsafat keadilan.[17]
Korupsi sebenarnya memiliki arti yang sangat luas dan tidak mungkin hanya menggunakan bahasa, teks formal dalam Undang-Undang. Teks hukum selalu baku terbutir dalam Undang-Undang. Akibatnya dengan keterbatasan bahasa, pengetahuan, sistematika semiotik maka dipastikan pelaku korupsi tidak mungkin terjerat seperti yang harapkan oleh masyarakat. Akan tetap seperti sediakala betapa kelompok ``kerah putih`` akan tetap lolos dari jeratan korupsi.
Ciri dari formalisme hukum akan terlihat betapa hukum seperti mesin otomat termasuk para hakim di Pengadilan. Formalisme hukum dengan mesin besarnya berupa Undang-Undang dipastikan selalu bertradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang cendrung dianggap kaku bahkan mengorbankan kepentingan rakyat terlebih bila hukum telah dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karenanya yang akan terjerat tindak pidana korupsi justru kalangan bawah bukan kalangan atas karena produk teks hukum memiliki kepentingan kekuasaan. Hal ini akan didukung dengan tradisi analitical jurisprudence yang bertumpu pada Ilmu Hukum Dogmatik yaitu hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai  suatu  bangunan  peraturan  yang  dinilai  sebagai  sistematis  dan  logis. Jadi,  kegunaan  dari  Ilmu  Hukum  Dogmatis  ini  tidak  lebih  hanya  menelaah bangunan  logis-rasional  dari  deretan  pasal-pasal  peratuiran.  Oleh  karenanya, Ilmu  Hukum  Dogmatik  seperti  ini  juga  lazim  disebut  dengan  analytical jurisprudence,[18] yang dalam praktiknya  sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal  dan  prosedural  dalam  berolah  hukum  untuk  mencapai  (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri.
Banyaknya aliran-aliran hukum baru bermunculan mulai di abad 18-an seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenz di Jerman hingga critical legal studies, dekonstuksi hukum maupun hukum responsif sebenarnya untuk menjawab kekakuan dari formalisme hukum yang selalu pada ujungnya berupa ketakberdayaan hukum itu sendiri untuk bersikap hukum membela keperingan rakyat; bangsa dan negeri dari kerancuan.
Menurut Satjipto Raharjo menyatakan bahwa hukum modern dengan ciri formalistiknya tidak selamanya dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya bangunan peraturan biasa. Hukum adalah juga bangunan ide, kultur dan cita-cita. Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dikarenakan penyingkatan hukum sebagau rule of law tanpa melihat sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi partikular.[19] Pandangan beliau tersebut mensaratkan muatan hukum harus luas dalam cakupan moralitas. Hukum tertulis selama ini pasti tidak sunyi dari kesalahan dan pengabaian hati nurani manusia, kultur dan cita-cita ideal manusia. Muatan hukum harus menggenapi kultur dan cita ideal manusia yaitu kebahagiaan. Kultur itu sendiri tidak lain adalah Indonesia.
Nonet dan Selznick telah membedakan tipe hukum yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Tanda dari hukum refresif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari intuisi-intuisi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana ia menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.[20]
Hukum progresif hadir di tengah-tengah berlakunya hukum formal modern seperti yang terjadi di Indonesia. Hukum formal itu sendiri mempunyai ciri-ciri :[21]
  1. diangkat sehingga membuat ketentuan-ketentuan yang sangat umum, sesuai dengan asas-asas yang universalistik;
  2. mempunyai tingkat keumuman yang oleh Weber disebut sebagai rasionalitas yang formal dan;
  3. menekankan pada faktor prosedural
Prosedur formal belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat.
Hukum progresif juga berharap terjadinya pembaharuan hukum dengan model pembangunan hukum. Upaya pembangunan hukum dapat pula diperbaharui peraturan perundang-undangan dengan memberi ruang ruh moralitas, kerakyatan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hukum harus menjadi sarana rakyat untuk beroleh kehidupayan layak dan bahagia. Bukan justru menjadi sarana kekuasaan atas nama rakyat untuk mengatur rakyat. Hukum yang baik pasti akan dicari oleh manusia, dirasakan keberadaannya dan dihormati manakala ia mampu berperan sebagai pelayan masyarakat. Oleh karenanya diperlukan peraturan dan kenyataan haruslah seimbang. Sedemikian itu pula hukum progresif selalu peka terhadap segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik loka, nasional, maupun global. Berhadapan dengan perubahan-perubahan tersebut, hukum progresif terpanggil untuk tampil melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.[22] Ia berhadapan dengan status-qua, jika ia menimbulkan dekadensi, suasana korup dan menimbulkan kerugian masyarakat, maka hukum progresif akan melakukan perlawanan yang berujung pada penafsiran progresif pada hukum.
Menurut Satjipto Raharjo, hukum bertumpu pada dua sumbu, yaitu peraturan dan prilaku.[23] Gagalnya era-reformasi untuk menciptakan supremasi hukum dikarenakan selalu bertumpu pada peraturan. Oleh karenanya diperlukan upaya mobilisasi hukum yang lebih menekankan pada keberanian untuk melakukan interpretasi hukum secara progresif daripada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh peraturan-peraturan hukum. Tentu saja terutama ditujukan upaya aparat hukum; polisi, jaksa, hakim untuk melakukan keberanian membuat penafsiran hukum agar tercipta ideal kemanusiaan yang berhati nurani, pro-rakyat dan pro-keadilan.

Penutup
M Friedman membagi tiga sistem hukum yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Kultur sangat memegang peranannya dalam penegakan hukum. Terutama saat dukungan kultur masyarakat itu terjadi seperti partisipasi masyarakat yang tinggi untuk menegakkan hukum sekalipun komponen sktruktur dan substansinya tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebaliknya suatu komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau dapat dikatakan ``modern`` dalam kenyataannya tidak menghasilkan out-put penegakan hukum yang tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung prosedur formal yang telah ditetapkan. Padahal penegakan hukum akan selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya.[24]
Bagian yang teramat penting adalah bidang struktur hukum. Di sini aparat penegak hukum dan terlebih bidang peradilan yaitu para hakim untuk menafsiirkan hukum tidak sekedar formalisme belaka. Jika tidak, maka akan dipastikan, hukum formalisme yang ada dalam butir Undang-Undang tindak pidana korupsi akan terperangkap sendiri dalam formalisme. Para lawyer; praktisi hukum yang membela perkara koruptor akan berusaha berlindung dari butir-butir kelemahan teks hukum. Untuk itu, hakim haruslah berani untuk keluar melihat hukum bukan hanya dalam arti dogmatik hukumnya tetapi atas kenyataan real di masyarakat. Hal ini telah di amanatkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi,`` (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.``
Upaya pembebasan itu dapat dilakukan dengan memulai sejak dini pembacaan teks hukum haruslah sangat terbuka untuk pemberian makna. Membaca Undang-Undang haruslah tidak diartikan ``mengeja pasal-pasal undang-undang.`` Independensi dan kebebasan hakim juga terletak pada kebebasannya untuk memberi makna kepada teks hukum. Yurisprudensi bisa bermanfaat, tetapi tunduk obsolut kepada yurisprudensi merupakan kesalahan besar. Dalam hukum progresif menghendaki agar yurisprudensi selalu dalam proses diperbaharui dan disempurnakan (always in the making). Dalam sejarah dapat ditemukan beberapa putusan pengadilan yang berkualitas progresif karena berani mematahkan yurisprudensi lama, seperti putusan Hooge raad (Mahkamah Agung) Belanda tentang onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum), januari 1916.[25] oleh karenanya, para hakim, jaksa, polisi harus berani membaca teks hukum dengan makna yang lebih luas secara progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial masa kini. Tidak sedikit teks undang-undang yang malah bisa merusak masyarakat apabila tidak dibaca dan dimaknai secara progresif.
Berdasar demikian, diperlukan bukan hanya pembangunan membuat formalisme hukum berupa kaidah normatif Undang-Undang saja tetapi juga dalam pemberantarasan korupsi diperlukan pembangunan mental para penegak hukum dan berani lebih bebas, mandiri sekat keterbatasan yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jika tidak, maka Indonesia akan tetap berada di tingkat teratas yang paling subur tindak pidana korupsinya di dunia.

Bahan Pustaka :
Abraham Amos, Legal Opinion, Aktualisasi Teoritis & Emperisme, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
Atmasasmata, Romli, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. I, 2004
Adji, Idriyanto Seno, Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif, Kompas On Line, http kompas com. Kolom Opini, 25 Mei 1996
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. I. 2006
Adnan Topan Husodo, Febri Hendri dan Lais Abid, Kecendrungan Korupsi Semester I tahun 2006,  Disusun Oleh Tim Informasi Publik ICW, Makalah, 2006
Asshiddiqie, Jimly, dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006.
Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosofhy, terj. B. Arief Sidharta, Alumni Bandung, Cet. III, 2006, dalam halaman Pengantar.
Musni Umar (ed), dk, Korupsi Musuh Bersama, Penerbit Lembaga Pencegah Korupsi, Jakarta, 2004
Mugirahardjo, Korupsi dalam Menyongsong Era Liberalisasi, suara Pembaharuan, on ine, http/www.suara pembaruan.com/news, 25 Pebruari 1997
Nonet,  Philippe dan Philip Selznick, Law and Society in Transition; Toward Responsive Law, terj. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2007.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami untuk Membasmi : Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta 2006
Raharjo, Satjipto., Membongkar Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet. III, Jakarta, 2008
-----------------------., Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet. I, 2009.
-----------------------.,Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
-----------------------., Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
-----------------------.,Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007
-----------------------, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI. (t.t).
-----------------------., Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, X, 1980. 
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. I, 2004, h. 16
Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi, Pusat Study Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci Tangerang, 2002
Sidharta, Moralitas Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Penerbit Refika Aditama, Bandung, t. 2006,

Bahan Elektronik :

Glendoh, Kejahatan Korupsi, artikel on line, http: www. petra. ac.id/ english/ science/ social/korup., 1997
Hukum on line; berita hukum- Pontjo Sutowo dan Ali Mazi Bebas.htm, Selasa, 12 Juni 2007
Hukum on line; Komisi Pemberantasan Korupsi Mengurai Benang Kusut Korupsi.htm, Selasa, 26 Juni 2007
Nasution, Irham Buana, Penegakan Hukum Terhadap Perbuatan KKN oleh Pejabat Publik, artikel On Line, tt
Kompas, Vonis Korupsi Tidak Bikin Efek Jera, Jum`at, 25 April 2003 dalam Website, Masyarakat Transparansi Indonesia, On Line
Majalah Trust, http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/1514.php, tgl. 28 Februari 2011
Solihin, Dadang, Anti Corruption and Good Governance, makalah on line, tahun 2000
Susanto, Anang Arief, Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah, artikel on line, 26 Januari 2001
Silalahi TB, Tak Perlu dibentuk Badan Anti Korupsi, Kompas, on line, http:/www.Kompas.com, 23 Juni 1997
Shleifer Andrei and Robert W Vishny, Corruption, Quarterly of Journal Economy, Vol. CVIII, August 1993, MIT Press, Combridge, Massachusetts
Soesilo, R., KUHP, Komentar-Komentarnya serta Lengkap dengan pasal-pasalnya, Penerbit Politeia Bogor.
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Track system & Implementasinya, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Sinar Harapan, on line, 1 Oktober 2002
Tempo Interaktif on line, Mendagri, Pemerintah Merevisi UU Otda, 2003
Tranparancy International, http//perpustakaan. web.id. ibid.
Widjaja, Haw, Otonomi Daerah dan Daerah otonom, Rajawali Pers, Jakarta, 2002


[1] Majalah Trust, http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/1514.php, tgl. 28 Februari 2011
[2] Sumber data dari Tranparancy International, http//perpustakaan. web.id. ibid.
[3] Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi, Pusat Study Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci Tangerang, 2002, h. 2
[4] Irham Buana Nasution, Penegakan Hukum Terhadap Perbuatan KKN oleh Pejabat Publik, artikel On Line, tt
[5] Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. I, 2004, h. 16
[6] Anang Arief Susanto, Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah, artikel on line, 26 Januari 2001
[7] Shleifer dan Vishny dalam Dadang Solihin, Op Cit., 24 Agustus 2000
[8] Sinar Harapan, on line, 1 Oktober 2002
[9] Mendagri, Pemerintah Merevisi UU Otda, Tempo Interaktif on line, 2003
[10]Brita Indo Pos diberitakan, DPD Temukan Korupsi di Daerah. Sejak terbentuk 13 Januari lalu,  
Tim Kerja Antikorupsi DPD menerima sedikitnya 23 kasus koruspi di daerah. Praktik penyalahgunaan anggaran itu umumnya dilakukan pejabat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dan ketua DPRD. "Pada rapat paripurna pertama setelah bertugas di daerah pemilihan, sejumlah kasus baru juga dilaporkan. Ini bukti tim ini mendapat respons positif", ujar Ketua Tim Kerja Antikorupsi I Wayan Sudirta dalam rapat PAH I DPD di Senayan hari ini. Menurutnya, Sepuluh kasus serius akan disampaikan langsung ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh karena dugaan korupsinya sangat kuat, tapi pengusutannya macet dengan banyak alasan.
(Indo Pos, 9/5/06)
[11] Anang Arief Susanto, Lok Cit. h.1
[12] Glendoh dalam Dadang Solihin, Lok Cit. h. 1
[13] Badan Pemeriksa Keuangan menemukan potensi peyimpangan keuangan negara senilai Rp 47,4 triliun dan US$43 juta (sekitar Rp 395 miliar) selama semester kedua 2005. Temuan diperoleh setelah badan tersebut memeriksa 534 obyek senilai Rp 402,1 triliun dan US$ 643,8 juta (Rp 5,9 triliun) pada departemen, lembaga, provinsi, kabupaten, kota, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. "Dewan Perwakilan Rakyat harus menindaklanjuti temuan ini," kata Anwar Nasution, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, saat menyampaikan Hasil Pemeriksaan Semester Kedua 2005 di Jakarta. Dia menjelaskan ada beberapa temuan serius pada institusi yang rawan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menyangkut hajat hidup orang banyak dan pelayanan sosial, antara lain Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan PT PLN (Persero). Berita Indonesia, on line, July 27, 2007.
[14] Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosofhy, terj. B. Arief Sidharta, Alumni Bandung, Cet. III, 2006, dalam halaman Pengantar.
[15] I Gede A.B. Wiranata, Hukum Progresif Versus Pembangunan Hukum (Sebuah Pencarian Model) dalam Satjipto Raharjo, Membongkar Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet. III, Jakarta, 2008, h. 251
[16] Jimly Asshiddiqie, dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006, h. 9
[17] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi Press, Cet. I, (t.t) 1995,  h. 3
[18] Satjipto  Rahardjo,”Hukum  Progresif:  Hukum  yang  Membebaskan.  Jurnal  Hukum  progresif”.  Program  Doktor  Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005, hal. 7.
[19] Satjipto  Rahardjo, Membongkar Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet. III, Jakarta, 2008, h. 253-254
[20] Philippe Nonet  dan Philippe Selznick, Law and Society in Transition; Toward Responsive Law, terj. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2007, h. 87
[21] Ibid. 257
[22] Hukum Progresif, Lok. Cit. h. 18
[23] Ibid. h. 24
[24] Op Cit. h. 255
[25] Ibid. 144