Ketakberdayaan
Formalisme Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi:
Membangun Progresvitas
Penegak Hukum
Akhmad
Sukris Sarmadi
Fakultas
Syariah IAIN Antasari
email.
a.sukris@yahoo.co.id
State Indonesia represent State which included in highest ranking
corruption besides most Asian State and African. From 163 State in world, since
year 2006 Indonesia reside in rangking 27 and rangking 10 in Asia. Year medium
2005 residing in rangking 17 and 6 in Asia. There is many factor making this
difficult State secede from corruption lassoing. Perhaps not merely problem of
just bureaucracy the giving gap the happening of corruption, lack of
akuntabilitas, professionalism and or rule of law but also problem of society
culture deputized by weak legislative body. Equally, weaken him of control the
institute make executive institute don`t feel to be observed.
Keyword : Korupsi,formalisme hukum, tindak Pidana Korupsi, hukum
progresif
Pendahuluan
Pemberlakuan UU
No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah salah upaya
bangsa Indonesia untuk mengikis segala bentuk tindak pidana korupsi di
Indonesia. Sejak pemberlakuan UU No. 31 Tahun 2009 dan UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih dirasakan kurang sempurna
sehingga diperlukan UU tentang pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam UU ini
diupayakan pemaduan antara hakim karier dengan hakim ad hoc yang dipilih di
kalangan sarjana dan profesional hukum. Sebahagian pengamat hukum cara ini
sudah dianggap baik namun tetap saja dianggap tidak akan mampu sempurna
memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini. Sebab kejahatan yang
tidak dapat dibuktikan (invisible crime) yang sebagian besarnya pada
tindak pidana korupsi dipastikan tetap tak dapat dijerat hukum formil yang
berlaku di Indonesia.
Sejak tahun
70-an diskusi tentang korupsi telah banyak dilakukan. Dalam banyak diskusi
selalu tercermin bahwa korupsi bukan hanya mengganjal sistem pemerintahan yang
menuju pemerintahan yang baik saja (good governance) namun juga
berdampak pada kerkendalanya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan sehingga
pemerintah tidak akan mungkin mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur
sebagai mana yang diharapkan dalam sistem pemerintahan khususnya di Indonesia.
Jika Mauro benar bahwa semakin tingga ILF (index ethnolinguistic
fractionalization) suatu negara semakin mudah pecah negara tersebut dan makin
tinggi kecendrungan korupsinya. Dan Indonesia termasuk negara memiliki tingkat
tertinggi tindak pidana korupsinya. Dengan kenyataan lainnya pula, dewasa ini
semakin berkurangnya investasi di Indonesia menunjukkan rendahnya pertumbuhan
ekonomi.
Ada beberapa
Undang-Undang tidak pidana korupsi di Indonesia dan sekarang mulai lagi
dirintis Undang-Undang baru tentang tindak pidana korupsi. Bukan hanya makna
korupsi yang kian diperluas, kelak ahli waris koruptor juga bisa diperkarakan.
”Koruptor akan lebih sulit untuk lolos dari jerat hukum,” tutur Andi Hamzah,
ketua tim revisi undang-undang tersebut. Sejumlah jerat baru buat koruptor itu
tertuang dalam naskah rancangan perubahan atas Undang-undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pekan lalu telah rampung dibahas.
Rancangan ini mengikuti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti
Korupsi alias United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Salah
satunya adalah adanya ketentuan untuk mengajukan gugatan perdata. Koruptor yang
meninggal dunia atau melarikan diri ke luar negeri serta memperkaya diri secara
melawan hukum, maka bisa dituntut secara perdata secara kilat (3 hari) sehingga
hartanya bisa diambil oleh negara.[1]
Sekarang ini
telah digodok upaya pembuatan UU baru tindak pidana korupsi di Indonesia guna
melengkapi Undang-Undang tindak pidana korupsi sebelumnya dan menyesuaikan
dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Persoalan yang mendasar adalah apakah dengan
Undang-Undang baru tindak pidana korupsi akan mampu menjerat pelaku tindak
pidana korupsi secara benar dan adil? Atau justru suatu tindakan bumerang baru
di mana hukum justru memperlambat pembangunan dan menghukum pelaku-pelaku kelas
teri dan tetap meloloskan orang-orang kuat di negeri ini. Dikatakan
memperlambat pembangunan adalah saat setiap birokrat pemerintahan menjadi takut
melakukan kebijakan pembangunan lantaran takut dituduh korupsi dan melakukan
kesalahan. Sementara pelaku korupsi yang sering disebut dengan ``kerah putih``
tetap lolos karena bersembunyi di balik baju ``formalisme hukum`` yang
selalu diagungkan di negeri ini.
Boleh jadi UU
No. 31 tahun 1999 maupun UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi justru menemukan persoalan ketika dianggap tidak selaras dengan
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Munculnya UU No. 7 Tahun
2006 sebagai Undang-Undang yang sekedar mengesahkan konvensi Internasional
sesungguhnya hanyalah keresahan hukum di negeri ini karena korupsi telah sangat
merajalela. Berdasarkan data terakhir yang diperoleh Komisi Pemberantasan
Korupsi pada tahun 2005, menurut data Political Economic and Risk
Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di
Asia. Dalam bagian menimbang UU No. 7 Tahun 2006 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,
akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama intemasional
untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian
aset-aset hasil tindak pidana korupsi.
Sejarah (UNCAC)
tak lepas dari diskusi internasional selama ini. ``The First International Conference on Coruption and Economic
Againts Government` adalah tema yang dibahas pada konferensi Internasional anti
korupsi. Tema ini sesungguhnya merupakan pertama kali di dunia Internasional di
bahas. pesertanya dari kalangan kriminolog, ekonom dan penegak hukum lainnya
yang diadakan di Washington Amerika Serikat di tahun 1983. kemudian dengan tema
yang sama untuk kedua kalinya diadakan di New York tahun 1985, kemudian
konfrensi III di Hongkong pada tahun 1987, dan pada tahun yang sama di Sydnew,
kemudian tahun 1992 di Amsterdam, tahun 1993 di Durban, tahun 2001 di Praha dan
tahun 2003 di Seoul Korea Selatan.
Indonesia selalu ikut ambil bagian dalam
konfrensi tersebut, setidaknya ambil bagian membicarakannya meskipun belum
berani untuk mengadakan konfrensi lanjutan di Indonesia. Meskipun, bila dilihat
dari rangking sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2006, tingkat korupsi
Indonesia terlihat bergerak turun. Dari 163 jumlah Negara di dunia, tahun 1999
rangking Indonesia pada peringkat 3 (paling terkorup), tahun 2000 menjadi
rangking 4, tahun 2001 kembali dalam ranking 3, kemudian tahun 2002 pada
rangking 6, tahun 2003 menjadi rangking 11 dan tahun 2004 pada ranking 8,
kemudian tahun 2005 pada rangking 7 dan terakhir tahun 2006 pada rangking 27.[2]
Permasalahan yang dibahas dalam konfrensi
tersebut antara lain mengenai sebab-sebab atau sumber korupsi yang amat
kompleks. Disebut kompleks karena bahasan korupsi ternyata sangat luas dan
berkait dengan keseluruhan aspek kehidupan kultural kemanusiaan. Berbagai
faktor utama yang berperan dalam tindak pidana korupsi pada umumnya adalah
pengaruh budaya, ekonomi, akibat demontrasi, lemahnya integritas moral,
lingkungan, pengawasan yang lemah, management yang tertutup, situasi politik,
pemerintahan yang otoriter, peraturan hukum dan penegakannya yang kurang tegas
dan konsisten serta norma-norma sosial lainnya termasuk sanksi yang tidak
kondusif bagi pemberantasan korupsi.[3]
Meskipun Indonesia selalu mengikuti berbagai
konfrensi Internasional tentang pemberantasan korupsi, bahkan sebagai negara
hukum yang berarti hukum sebagai acuan dan dasar hidup bernegara hingga dalam
menjalankan sistem pemerintahan adalah sangat ironis ternyata hingga sekarang
fenomena kejahatan korupsi masih dominan terjadi di Indonesia. Seolah istilah
``negara hukum`` hanya persoalan yang tercatat dalam Undang-Undang tanpa ada
implementasi yang berarti di lapangan. Dengan kata lain, para birokrat dan
segala pejabat yang terkait terhadapnya masih berlomba-lomba untuk berebut
kekuasaan dan korupsi. Ada banyak koruptor di Indonesia yang telah diadili
namun tindak pidana korupsi tetap memainkan peranan dalam kehidupan birokrasi
maupun politik dan ekonomi. Irham Buana Nasution[4] mengatakan bahwa perbuatan korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) adalah salah satu tantangan terbesar dalam abad ini yang
harus dihadapi. Tak ada jalan pintas atau jawaban mudah untuk itu. Korupsi
dalam hal tertentu, ada pada setiap masyarakat. Ia menjadi fenomena
yang merebak sebagai tanda adanya penyimpangan dalam hubungan antar negara dan
masyarakat. Cermatilah, betapa tiap hari kita disuguhi berita surat kabar, misalnya
bahwa instansi pelayanan masyarakat telah digantikan oleh keserakan pribadi.
Atau sistem integritas nasional yang dimaksudkan untuk menahan korupsi
mengalami kegagalan.
Apa yang
disampaikan Irham Buana di atas adalah realitas pada zaman modern seperti
sekarang ini. Korupsi telah merebak diseluruh dunia. Ia bergulir bagai bola api
yang datang ke semua negara. Globalisasi korupsi seperti tak dapat dihindarkan di
dunia, termasuk di Indonesia.
Korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) merupakan subkultur yang hidup subur di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Bahkan KKN inipun tumbuh subur di beberapa negara Asia
dan Afrika. Bila kita mencermati hasil riset lembaga-lembaga Internasional,
terbukti bahwa pada umumnya negara-negara tertentu di Asia dan Afrika menduduki
ranking tertinggi dalam korupsi bila dibandingkan dengan negara-negara di Eropa
dan Amerika Serikat. Di beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris, Amerika
Serikat dan Prancis, KKN tidak dapat tumbuh subur disebabkan sistem kehidupan
masyarakat yang demokratis di mana control parlemen Sangat kuat dan dalam
penyenggaraaan negara mengedepankan transparansi (transparancy),
profesionalisme (profesionalism), akuntabilitas (accountability),
supremasi hukum (Supremacy of Law) dan Perlindangan Hak Asasi Manusia
(HAM).[5]
Indonesia
sendiri telah menganggap masalah korupsi merupakan masalah yang sangat serius. Bahkan
karena dianggap begitu seriusnya masalah ini telah ditetapkan dalam Tap MPR No.
VIII tahun 2001 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa permasalah
korupsi, kolusi dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius
dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan seiring dengan latar belakang itu pula
telah melahirkan UU RI N0. 20 tahun 2001 (tanggal 21 Nopember 2001) tentang
Tindak Pidana Korupsi sebagai revisi dan perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999
tentang Pidana Korupsi. Revisi dan perubahan tersebut dilakukan karena UU
sebelumnya dipandang kurang represif pada sanksi hukumnya sehingga banyak
dilakukan perubahan pada sanksi hukumnya dengan tujuan untuk mempertakuti dan
mengantisipasi merajalelanya korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Meskipun
demikian, pada kenyataannya kejahatan korupsi di Indonesia hingga sekarang
masih dan terus terjadi. Ini berarti UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi belum mampu menjadi instrument pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia.
Birokrasi dan
Otonomi Daerah : Membidik Korupsi di Pemerintahan
Persoalan yang
mendasar tindak pidana korupsi adalah pada sistem pemerintahan di Indonesia
yaitu masih terlihat lemahnya sistem kelembagaan pemerintah Indonesia dalam
memberantas korupsi dapat dilihat dalam berbagai hal. Struktur birokrasi yang
masih hingga sekarang berbelit-belit merupakan biang kehidupan korupsi. Budaya
transparansi birokrasi yang mulai dihidupkan terganjal oleh kurangnya antusias
kaum birokrat sendiri atau pejabat yang berwenang. Budaya politik kita yang
selalu berpolemik dalam perebutan kekuasaan ``egosenstrisme politik``
dan politik partai masih mewarnai disemua diskursus ``keIndonesiaan kini.`` ini
jauh dari semangat kebersamaan untuk memikirkan politik masa depan anak bangsa
menuju kehidupan yang lebih baik, duduk bersama dan merapatkan haluan
keIndonesiaan. Semua ini kental dengan tumbuh subur berkembangnya budaya-budaya
korupsi. Sisi lain, aspek kultural sekuler yang menjauhkan kehidupan beragama
dalam kehidupan politik dan birokrasi. Akibatnya kaum yang berwenang merasa
tidak bersalah jika melakukan tindak korupsi. Jauhnya kesadaran anggota badan
legislatif untuk memberikan pengawasan maksimal atas kinerja eksekutif juga
menjadi sebab berkembang kehidupan korupsi di negeri ini. Mengambil pendapat Shleifer
bahwa akibat penyimpangan dana negara karena korupsi, maka keadaan itu lebih
mahal dibandingkan pajak. Rationya, suatu negara jika tidak ada korupsi maka
negara itu sanggup menanggung beban pajak rakyat.
Sejak
berlakunya UU Otonomi Daerah UU N0. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
disusul dengan UU N0.25 tahun 1999 tentang Pembagian perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah kemudian UU N0. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas dari karupsi hingga berlakunya UU N0. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata tidak mengurangi angka merajelalanya
korupsi di Indonesia. Artinya populasi korupsi makin terasa dominan terlebih
ditunjang dengan pemberlakukan otonomi daerah. Paradigma korupsi semakin
mengkristal pada tipe-tipe tertentu dan semakin sistematik. Pada umumnya dahulu
sebelum UU otonomi daerah, menurut Anang Arief Susanto, bentuk korupsi tersebut
dapat berupa permintaan atau pemerasan uang suap, patronase (pemberian
perlindungan), nepotismo, pencurian atau penggangsiran barang-barang publik
untuk kepentingan pribadi antara lain dilakukan melalu swastanisasi perusahaan
publik secara spontan dan tidak transparan, penggunaan peralatan atau sumber
daya keuangan publik untuk kepentingan individu, pemilikan dana perusahaan
daerah yang tidak terkontrol, memperoleh kredit tanpa mau mengembalikan, membayar
gajih kepada orang yang tidak memberi kontribusi. Tipe korupsi lainnya adalah
korupsi politik uang, misalnya prilaku curang (politik uang) pada pemilihan
anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk
pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik perlemen melalui cara-cara illegal
lobbying (teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu
clientelism (pola hubungan langganan).[6]
Berangkat dari
kenyataan di atas, dalam dan terhadap sistem pemerintahan, korupsi memiliki
pengertian tersendiri. Setidaknya dalam pengertian Shleifer dan Vishny (1993),
korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk
keuntungan pribadi. Sebagai contoh pegawai negeri sering menarik pungutan liar
dari perizinan, lisensi, bea cukai atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para
pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian
barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Untuk kasus
seperti ini, korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan.[7]
Pendapat di
atas harus diakui banyak kebenarannya dan kenyataannya juga terjadi di
Indonesia. Dalam harian umum Sinar Harapan[8]
disebutkan, sbb :
Politik uang
dan suap adalah bentuk transaksi haram yang sangat akrab dengan para elite ekonomi
dan politik kita sejak zaman orde lama sampai era reformasi, terkhusus pada
dalam sistem pemerintahan. Terminologi ekonomi menyebutkannya sebagai
transaction cost. Sedangkan bahasa sosiologinya disebut korupsi.
Memperhatikan kenyataan
tersebut, pengertian korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan
keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickback (penerimaan
komisi secara tidak sah atau diam-diam) juga dinilai sebuah kejahatan.
Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah
seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi. Ini dikategorikan
sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan
yang tidak terjangkau oleh hukum). Ada banyak contoh diberikan untuk
kejahatan-kejahatan semacam ini misalnya : tax evasion (pelanggaran pajak),
credit fraud (penipuan bidang kredit), embezzlement and misapropriation of
fublic funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat) dan berbagai
tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang
tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas
yang tinggi dari pelakunya.
Bagaimana bentuk
korupsi yang sesungguhnya terjadi di Indonesia dan sejauh bagaimana hukum kita
mampu menjerat pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Sering orang berkata
bahwa hukum pasti tertinggal dengan gerakan kejahatan. Demikian halnya dalam
masalah korupsi. Dengan kata lain, ada banyak kemungkinan kejahatan korupsi
tidak dapat dijerat oleh hukum yang berlaku di negeri ini. Meskipun disadari
bahwa korupsi seolah menjadi budaya yang bersifat hegemonik tanpa dapat
diberantas secara konprehensif. Atau justru aturan hukum memang sengaja dibuat
untuk tidak memberantas kejahatan tertentu dalam korupsi. Setidak-tidaknya
hanya dibuat untuk mengurangi saja kebocoran ekonomi yang lebih besar sambil
melindungi pihak-pihak tertentu. Jika demikian, maka korupsi selamanya menjadi
pajak-pajak siluman yang hanya dinikmati oleh segelincir orang. Dan selamanya
ia menjadi benalu yang permanen untuk menghalangi cita-cita good goverment;
kondisi pemerintahan yang baik.
Berangkat dari kondisi
suram model suatu bangsa dan pemerintahan, paradigma korupsi setiap waktu
memiliki perubahan-perubahan. Ia mengisi sisi luang dan lepas dari perhatian orang.
Beragam kemasan sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan korupsi. Paradigma
korupsi dapat berubah-rubah. Mungkin paradigma korupsi lama telah terbongkar
dan terlalu terbongkar tetapi sekarang menjadi sempit dan berjalan pelan atau
justru bahkan akan lebih besar dan semakin cepat berjalan. Bahkan yang
uniknnya, peranan Undang-undang yang diberlakukan di negara ini terkadang
justru menyuburkan tindak pidana korupsi atau menutupinya setidaknya kadang
membuka celah untuk pelaku kejahatan pidana korupsi. Harian Tempo pernah
mensinyalir pernyataan Hari Sabarno yang waktu itu sebagai Menteri Dalam Negeri
mangatakan bahwa pemerintah mempersiapkan untuk penyempurnaan UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang telah terbit UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah). Alasan penyempurnaan adalah menutup kerja anggota
DPRD dalam memilih kepala daerah. Ia mengatakan,``DPRD selama ini telah diberi
wewenang untuk memilik kepala daerah, namun kadang-kadang terjadi hal-hal yang
ada kalanya kesannya tidak sesuai dengan aspirasi dan seterusnya, bahkan
terjadi negoisasi tertentunya makanya nanti kita geser, memberikan hak memilih
kepala daerah itu kepada rakyat.[9]
Sikap perubahan
pemerintah tersebut terhadap UU Otda adalah jelas agar money politik dalam
pemilihan kepala daerah tidak lagi terjadi di kalangan anggota legislatif.
Intinya guna memangkas road to soft corruption DPRD. Meskipun dengan UU baru
tentang Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004 tidak juga mampu membendung money
politik. Sekarang cara bermainnya sudah berubah tetapi tetap pil manis dapat
ditelan oleh pelaku kejahatan korupsi ; offences beyond the reach of the law
(kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Bayangkan dengan UU
Otda yang baru, money politik akan beredar di masyarakat secara langsung dan
partai politik juga mendapat kebagian, jika mereka mau bermain. Seperti yang
dikatakan sebelumnya, cara bermainnya mungkin berubah-rubah, tetapi pil manis
tetap menjadi incaran mereka yang kerap diuntungkan karena keahlian mereka.
Korupsi rupanya tetap
dapat memiliki jalan-jalan atas setiap aturan-aturan yang dibuat negara ini.
Sebut saja UU Otda yang telah berubah berganti-ganti. Menurut Kustigar Nadeak
(2003) bahwa desentralisasi fiskal juga inheren dengan undang-undang otonomi
daerah (UU No. 22 thn. 1999) kemudian UU N0. 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan daerah dalam praktiknya bermuara pada desentralisasi korupsi. Dan itu
pula terjadi pada UU N0. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Bagian pada Penjelasan
UU Pemerintahan Daerah berbunyi bahwa pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat dari penjelasan
UUPD tersebut sangatlah jelas adanya kewenangan khusus bagi pemerintahan
daerah. Dalam prakteknya, pejabat-pejabat di Pemerintahan Daerah semakin mudah
mengurus kepentingan diri pribadinya. Baik untuk kepentingan karir dan
jabatannya sehingga ia tidak perlu menggunakan suapnya datang ke Jakarta tetapi
cukup di daerahnya sendiri. Dengan kata lain, akan ada paradigma korupsi baru
di Pemerintahan Daerah. Tidaklah keliru jika pengamat mengatakan bahwa sekarang
ini sudah terlahir raja-raja kecil di daerah provinsi dan kabupaten. Keadaan
ini juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak swasta dalam pemberian upeti model baru
mereka dan lebih mudah dilakukan serta dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh
mereka tanpa takut adanya pengawasan pejabat eksekutif di tingkat provinsi.[10]
Kenyataan demikian,
korupsi bagaikan benalu yang selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan apa
dan bagaimana model berlakunya undang-undang di suatu Negara, maka saat itu
pula model korupsi melakukan perubahan dengan paradigmanya yang baru. Para
koruptor selalu mencari titik lemah suatu undang-undang yang berlaku di suatu
Negara. Demikian halnya sejak berlakunya pengaturan otonomi daerah. Menurut
Anang Arief Susanto, bahwa tantangan pemerintahan daerah adalah mengembangkan
inovasi untuk membangun efektifitas, akuntabilitas dan keterbukaan untuk
mencapai efesiensi pada pelayanan masyarakat. Hal ini tak mungkin dilakukan
tanpa menghilangkan budaya korupsi. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan
lebih baik dan luas untuk melayani masyarakat dengan semangat keterbukaan,
disiplin dan transparansi fiscal, asal optimalisasi pengawasan terhadap korupsi
terus ditingkatkan. Korupsi akan mempengaruhi alakasi sumberdaya daerah dan
kualitas penampilan pemerintahan daerah. Konsekuensi korupsi adalah inefesiensi
dan penurunan kualitas pelayanan public, peningkatan polarisasi (pertentangan)
social, penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu,
penanggulangan korupsi harus merupakan agenda utama yang paling krusial untuk
mencapai pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efesien.[11]
Glendoh berpendapat
bahwa korupsi direalisasikan oleh aparat birokrasi dengan perbuatan menggunakan
dana kepunyaan Negara untuk kepentingan pribadi yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan umum. Korupsi tidak selalu identik dengan penyakit birokrasi
pada instansi pemerintah. Pada instansi swastapun sering terjadi korupsi yang
dilakukan oleh birokrasinya. Demikian pula pada instansi koperasi. Korupsi
merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang
merusak sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korp dan tempat bekerja para
birokrat. Dalam kaitan ini korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk,
antara lain kolusi, nepotisme, uang pelancar dan uang pelican.[12]
Pada kenyataannya,
korupsi sangat sulit diberantas, meskipun itu bukan berarti tidak mungkin.
Peran hukum maupun lembaga yuikatif sangat mutlak berarti dalam pemberantasan
korupsi. Meskipun juga harus ditunjang oleh budaya paradoktif terhadap korupsi.
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
(UU No.28 tahun 1999) memerlukan adanya penegak hukum yang kuat, jujur dan
disiplin yang tinggi. Dengan kata lain, bagaimanapun baiknya suatu peraturan
perundang-undangan, selalu saja memerlukan moralitas para pelaksananya baik
dalam arti aparat penegak hukumnya maupun masyarakat dalam arti luas.
Sejak masa orde
reformasi (1999), suara dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia selalu
menyuarakan kepada pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi, menindak
segala koruptor untuk dihukum seberat-beratnya. Untuk memenuhi aspirasi
tersebut, pemerintah bersama badan legislatif menyikapinya dengan memberlakukan
UU N0. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. UU ini tidaklah cukup, maka diberlakukan lagi UU
N0. 31 tahun 1999 dan UU N0.20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Bahwa
koruptor harus dihukum. Meskipun sejak UU baru tentang korupsi telah
diberlakukan, kejahatan korupsi masih saja terjadi hampir tidak dapat
dibendung.[13]
Berbagai media masa
mencatat beragam macam tindak pidana korupsi terjadi. Baik pada lapisan pejabat
pemerintah (eksekutif), hingga lembaga legislatif hingga yudikatif. Segala
perundang-undangan menyangkut korupsi seolah-olah hanya menjadi slogan dan
topeng dalam sistem pemerintahan. Setidaknya hingga sekarang banyak masyarakat
pesimis akan bangunnya bangsa Indonesia dari mimpi yang panjang dalam korupsi. Atau
sepertinya peraturan perundang-undangan tersebut banyak kesalahan atau mungkin
tidak dapat menjangkau kejahatan korupsi itu karena sudah terlalu mengakar dan
mendalam pada jurang kebiasaan dalam budaya masyarakat itu sendiri. Bahkan
pendekatan hukum dengan berbagai peraturan perundang-undangan anti korupsi
bersifat terbatas, memerlukan bidang lain untuk dan dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia. Meskipun, sesungguhnya harus disadari bahwa korupsi dalam konteks
hukum di Indonesia adalah didasarkan pada pandangan hukum bukan ekonomi dan
kinerja pemerintahan. Dengan kata lain, dalam azaz legalitas (principle of
legality), bahwa hanya sebagian pelaku korupsi yang dapat dijerat dalam hukum
yang terpatri dalam pasal-pasal kejahatan korupsi. Kejahatan yang tidak dapat
dibuktikan (invisible crime) tak dapat dijerat hukum maupun tindakan kejahatan
korupsi yang belum terpatri dalam hukum formil yang berlaku di Indonesia. Keahlian
para penyidik pada kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi
sangatlah mutlak diperlukan dan kemampuan untuk mengungkap kejahatan korupsi
dalam segala bentuk dan rupa korupsi agar globalisasi korupsi menjadi tidak
realitas.
Formalisme Hukum dan
Lepasnya Kaum Koruptor; Membangun Hukum Progresif
Kejahatan yang
tidak dapat dibuktikan (invisible crime) yang sebagian besarnya pada
tindak pidana korupsi dipastikan tetap tak dapat dijerat hukum formil yang
berlaku di Indonesia. Sedemikian itu pula yang mungkin terjadi jika
Undang-Undang baru diberlakukan tentang Tindak Pidana Korupsi. Sebab formalisme
hukum yang diberlakukan di Indonesia justru menjadi alat subur perlindungan
hukum bagi koruptor. Sesuai pandangan formalisme sebagai aliran posotivisme
maka negri ini masih melihat Undang-Undang sebagai alternatif terakhir
memberantas korupsi.
Pengaruh doktrin
hukum yang formalistik dalam cara pandang Positivistas menjadikan hukum kaku.
Hal demikian seperti dikatakan B. Arief Sidharta bahwa ajaran murni tentang
hukum sesungguhnya adalah ajaran hukum yang termasuk dalam aliran positivisme. Luijpen
mengatakan bahwa ajaran hukum dari Hans Kelsen ini adalah bentuk yang paling
aktual dari Positivisme Hukum. Sidharta menambahkan, dikatakan ``murni`` karena
ajaran dari Hans Kelsen itu bersih dari unsur-unsur pengertian hukum Alam
(hukum kodrat) yang cendrung memandang hukum sebagai hal ada dan sebagai ajaran
atau teori tentang aturan-aturan hukum positif ia (ajarannya itu) dibersihkan
dari penyelidikan-penyelidikan mengenai tingkah laku yang berlandaskan hukum
kausalitas seperti sosiologi dan psikologi..[14] Positivisme
menempatkan hukum hanya dianggap sebagai gejala normatif. I Gede A.B. Wiranata
mengatakan bahwa pandangan hukum seperti demikian banyak dipengaruhi oleh oleh
aliran filsafat hukum positivisme yang muncul pada abad XIX seperti tokohnya
bernama Hans Kelsen dengan teorinya yang terkenal ``The Pure Theory of Law``.[15] Hans Kelsen
sebagai penganut positivisme berpendapat, hukum tidak dibatasi oleh
pertimbangan moral.[16] Lebih jauh ia
mengatakan, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum seperti
yang dibedakan dari keadilan, adalah hukum positif. Pembicaraan di sini adalah
konsep hukum positif dan ilmu hukum positif harus dibedakan dengan tegas dari
filsafat keadilan.[17]
Korupsi sebenarnya
memiliki arti yang sangat luas dan tidak mungkin hanya menggunakan bahasa, teks
formal dalam Undang-Undang. Teks hukum selalu baku terbutir dalam
Undang-Undang. Akibatnya dengan keterbatasan bahasa, pengetahuan, sistematika
semiotik maka dipastikan pelaku korupsi tidak mungkin terjerat seperti yang
harapkan oleh masyarakat. Akan tetap seperti sediakala betapa kelompok ``kerah
putih`` akan tetap lolos dari jeratan korupsi.
Ciri dari formalisme
hukum akan terlihat betapa hukum seperti mesin otomat termasuk para hakim di
Pengadilan. Formalisme hukum dengan mesin besarnya berupa Undang-Undang
dipastikan selalu bertradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang
cendrung dianggap kaku bahkan mengorbankan kepentingan rakyat terlebih bila
hukum telah dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh
karenanya yang akan terjerat tindak pidana korupsi justru kalangan bawah bukan
kalangan atas karena produk teks hukum memiliki kepentingan kekuasaan. Hal ini
akan didukung dengan tradisi analitical jurisprudence yang bertumpu pada Ilmu
Hukum Dogmatik yaitu hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan
membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu
bangunan peraturan yang
dinilai sebagai sistematis
dan logis. Jadi, kegunaan
dari Ilmu Hukum
Dogmatis ini tidak
lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari
deretan pasal-pasal peratuiran.
Oleh karenanya, Ilmu Hukum
Dogmatik seperti ini
juga lazim disebut
dengan analytical jurisprudence,[18]
yang dalam praktiknya sangat bertumpu
pada dimensi bentuk formal dan prosedural
dalam berolah hukum
untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil
adalah peraturan hukum itu sendiri.
Banyaknya aliran-aliran
hukum baru bermunculan mulai di abad 18-an seperti legal realism,
freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenz di Jerman
hingga critical legal studies, dekonstuksi hukum maupun hukum responsif
sebenarnya untuk menjawab kekakuan dari formalisme hukum yang selalu pada
ujungnya berupa ketakberdayaan hukum itu sendiri untuk bersikap hukum membela
keperingan rakyat; bangsa dan negeri dari kerancuan.
Menurut Satjipto
Raharjo menyatakan bahwa hukum modern dengan ciri formalistiknya tidak
selamanya dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal
tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya bangunan peraturan
biasa. Hukum adalah juga bangunan ide, kultur dan cita-cita. Keterpurukan hukum
di Indonesia lebih dikarenakan penyingkatan hukum sebagau rule of law
tanpa melihat sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat
sebagai peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum
juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi partikular.[19]
Pandangan beliau tersebut mensaratkan muatan hukum harus luas dalam cakupan
moralitas. Hukum tertulis selama ini pasti tidak sunyi dari kesalahan dan
pengabaian hati nurani manusia, kultur dan cita-cita ideal manusia. Muatan
hukum harus menggenapi kultur dan cita ideal manusia yaitu kebahagiaan. Kultur
itu sendiri tidak lain adalah Indonesia.
Nonet dan Selznick telah
membedakan tipe hukum yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Tanda
dari hukum refresif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari intuisi-intuisi
hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi
yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian
utamanya adalah bagaimana ia menjaga integritas institusional. Untuk mencapai
tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan
menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.[20]
Hukum progresif hadir
di tengah-tengah berlakunya hukum formal modern seperti yang terjadi di
Indonesia. Hukum formal itu sendiri mempunyai ciri-ciri :[21]
- diangkat sehingga membuat ketentuan-ketentuan yang sangat umum, sesuai dengan asas-asas yang universalistik;
- mempunyai tingkat keumuman yang oleh Weber disebut sebagai rasionalitas yang formal dan;
- menekankan pada faktor prosedural
Prosedur formal belum
tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara baik kepada tujuannya.
Bahkan ia dapat saja mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya agar
wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi hukum tidak hanya pada
maksud pembuat undang-undang tetapi juga lebih luas memasuki keadilan yang
pro-rakyat.
Hukum progresif juga
berharap terjadinya pembaharuan hukum dengan model pembangunan hukum. Upaya
pembangunan hukum dapat pula diperbaharui peraturan perundang-undangan dengan
memberi ruang ruh moralitas, kerakyatan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Hukum harus menjadi sarana rakyat untuk beroleh kehidupayan layak dan bahagia.
Bukan justru menjadi sarana kekuasaan atas nama rakyat untuk mengatur rakyat.
Hukum yang baik pasti akan dicari oleh manusia, dirasakan keberadaannya dan
dihormati manakala ia mampu berperan sebagai pelayan masyarakat. Oleh karenanya
diperlukan peraturan dan kenyataan haruslah seimbang. Sedemikian itu pula hukum
progresif selalu peka terhadap segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
baik loka, nasional, maupun global. Berhadapan dengan perubahan-perubahan
tersebut, hukum progresif terpanggil untuk tampil melindungi rakyat menuju
kepada ideal hukum.[22]
Ia berhadapan dengan status-qua, jika ia menimbulkan dekadensi, suasana
korup dan menimbulkan kerugian masyarakat, maka hukum progresif akan melakukan
perlawanan yang berujung pada penafsiran progresif pada hukum.
Menurut Satjipto
Raharjo, hukum bertumpu pada dua sumbu, yaitu peraturan dan prilaku.[23] Gagalnya
era-reformasi untuk menciptakan supremasi hukum dikarenakan selalu bertumpu
pada peraturan. Oleh karenanya diperlukan upaya mobilisasi hukum yang lebih
menekankan pada keberanian untuk melakukan interpretasi hukum secara progresif
daripada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh peraturan-peraturan hukum. Tentu
saja terutama ditujukan upaya aparat hukum; polisi, jaksa, hakim untuk
melakukan keberanian membuat penafsiran hukum agar tercipta ideal kemanusiaan
yang berhati nurani, pro-rakyat dan pro-keadilan.
Penutup
M Friedman membagi tiga
sistem hukum yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Kultur sangat memegang peranannya
dalam penegakan hukum. Terutama saat dukungan kultur masyarakat itu terjadi
seperti partisipasi masyarakat yang tinggi untuk menegakkan hukum sekalipun
komponen sktruktur dan substansinya tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat
tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebaliknya
suatu komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau dapat dikatakan
``modern`` dalam kenyataannya tidak menghasilkan out-put penegakan hukum yang
tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung prosedur formal yang telah
ditetapkan. Padahal penegakan hukum akan selalu berinteraksi dan berinterelasi
dengan lingkungan sosialnya.[24]
Bagian yang teramat
penting adalah bidang struktur hukum. Di sini aparat penegak hukum dan terlebih
bidang peradilan yaitu para hakim untuk menafsiirkan hukum tidak sekedar
formalisme belaka. Jika tidak, maka akan dipastikan, hukum formalisme yang ada
dalam butir Undang-Undang tindak pidana korupsi akan terperangkap sendiri dalam
formalisme. Para lawyer; praktisi hukum yang membela perkara koruptor akan
berusaha berlindung dari butir-butir kelemahan teks hukum. Untuk itu, hakim
haruslah berani untuk keluar melihat hukum bukan hanya dalam arti dogmatik
hukumnya tetapi atas kenyataan real di masyarakat. Hal ini telah di amanatkan
dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang
berbunyi,`` (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.``
Upaya pembebasan itu
dapat dilakukan dengan memulai sejak dini pembacaan teks hukum haruslah sangat
terbuka untuk pemberian makna. Membaca Undang-Undang haruslah tidak diartikan
``mengeja pasal-pasal undang-undang.`` Independensi dan kebebasan hakim juga
terletak pada kebebasannya untuk memberi makna kepada teks hukum. Yurisprudensi
bisa bermanfaat, tetapi tunduk obsolut kepada yurisprudensi merupakan kesalahan
besar. Dalam hukum progresif menghendaki agar yurisprudensi selalu dalam proses
diperbaharui dan disempurnakan (always in the making). Dalam sejarah
dapat ditemukan beberapa putusan pengadilan yang berkualitas progresif karena
berani mematahkan yurisprudensi lama, seperti putusan Hooge raad (Mahkamah
Agung) Belanda tentang onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum),
januari 1916.[25]
oleh karenanya, para hakim, jaksa, polisi harus berani membaca teks hukum
dengan makna yang lebih luas secara progresif, yaitu menempatkan pada konteks
sosial dan tujuan sosial masa kini. Tidak sedikit teks undang-undang yang malah
bisa merusak masyarakat apabila tidak dibaca dan dimaknai secara progresif.
Berdasar demikian,
diperlukan bukan hanya pembangunan membuat formalisme hukum berupa kaidah
normatif Undang-Undang saja tetapi juga dalam pemberantarasan korupsi
diperlukan pembangunan mental para penegak hukum dan berani lebih bebas,
mandiri sekat keterbatasan yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Jika tidak, maka Indonesia akan tetap berada di tingkat teratas yang paling
subur tindak pidana korupsinya di dunia.
Bahan Pustaka :
Abraham Amos, Legal Opinion, Aktualisasi Teoritis &
Emperisme, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
Atmasasmata, Romli, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek
Nasional dan Aspek Internasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. I,
2004
Adji, Idriyanto Seno, Menuju UU Tindak Pidana Korupsi
yang Efektif, Kompas On Line, http kompas com. Kolom Opini, 25 Mei 1996
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, Cet. I. 2006
Adnan Topan Husodo, Febri Hendri dan Lais Abid,
Kecendrungan Korupsi Semester I tahun 2006,
Disusun Oleh Tim Informasi Publik ICW, Makalah, 2006
Asshiddiqie, Jimly, dk, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I,
Jakarta, 2006.
Hans Kelsen, Essays in
Legal and Moral Philosofhy, terj. B. Arief Sidharta, Alumni Bandung, Cet. III,
2006, dalam halaman Pengantar.
Musni
Umar (ed), dk, Korupsi Musuh Bersama, Penerbit Lembaga Pencegah Korupsi,
Jakarta, 2004
Mugirahardjo,
Korupsi dalam Menyongsong Era Liberalisasi, suara Pembaharuan, on ine,
http/www.suara pembaruan.com/news, 25 Pebruari 1997
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Law and Society
in Transition; Toward Responsive Law, terj. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif,
Nusa Media, Bandung, 2007.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami untuk
Membasmi : Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta 2006
Raharjo, Satjipto., Membongkar Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet. III,
Jakarta, 2008
-----------------------., Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, Cet. I, 2009.
-----------------------.,Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009.
-----------------------., Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009.
-----------------------.,Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007
-----------------------, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi
Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,
Mahkamah Agung RI. (t.t).
-----------------------.,
Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, X, 1980.
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. I, 2004, h. 16
Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi, Pusat Study Hukum
Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci Tangerang,
2002
Sidharta, Moralitas Hukum, Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, Penerbit Refika Aditama, Bandung, t. 2006,
Bahan Elektronik :
Glendoh, Kejahatan Korupsi, artikel on line, http: www. petra. ac.id/ english/ science/ social/korup.,
1997
Hukum on line; berita hukum- Pontjo Sutowo dan Ali Mazi
Bebas.htm, Selasa, 12 Juni 2007
Hukum on line; Komisi Pemberantasan Korupsi Mengurai
Benang Kusut Korupsi.htm, Selasa, 26 Juni 2007
Nasution,
Irham Buana, Penegakan Hukum Terhadap Perbuatan KKN oleh Pejabat Publik,
artikel On Line, tt
Kompas, Vonis Korupsi Tidak Bikin Efek Jera, Jum`at, 25
April 2003 dalam Website, Masyarakat Transparansi Indonesia, On Line
Majalah
Trust, http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/1514.php,
tgl. 28 Februari 2011
Solihin, Dadang, Anti Corruption and Good Governance,
makalah on line, tahun 2000
Susanto, Anang Arief, Mengantisipasi Korupsi di
Pemerintahan Daerah, artikel on line, 26 Januari 2001
Silalahi TB, Tak Perlu dibentuk Badan Anti Korupsi,
Kompas, on line, http:/www.Kompas.com, 23 Juni 1997
Shleifer
Andrei and Robert W Vishny, Corruption, Quarterly of Journal Economy, Vol.
CVIII, August 1993, MIT Press, Combridge, Massachusetts
Soesilo, R., KUHP, Komentar-Komentarnya serta Lengkap dengan
pasal-pasalnya, Penerbit Politeia Bogor.
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Track system
& Implementasinya, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
Sinar
Harapan, on line, 1 Oktober 2002
Tempo
Interaktif on line, Mendagri, Pemerintah Merevisi UU Otda, 2003
Tranparancy International, http//perpustakaan. web.id.
ibid.
Widjaja, Haw, Otonomi Daerah dan Daerah otonom, Rajawali
Pers, Jakarta, 2002
[1] Majalah
Trust, http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/1514.php,
tgl. 28 Februari 2011
[2] Sumber
data dari Tranparancy International, http//perpustakaan. web.id. ibid.
[3] Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi,
Pusat Study Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Lippo
Karawaci Tangerang, 2002, h. 2
[4] Irham Buana Nasution, Penegakan
Hukum Terhadap Perbuatan KKN oleh Pejabat Publik, artikel On Line, tt
[5] Romli Atmasasmita, Sekitar
Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, penerbit CV.
Mandar Maju, Bandung, Cet. I, 2004, h. 16
[6] Anang Arief Susanto, Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah, artikel
on line, 26 Januari 2001
[7] Shleifer dan Vishny dalam Dadang Solihin,
Op Cit., 24 Agustus 2000
[10]Brita Indo Pos diberitakan, DPD Temukan Korupsi di Daerah.
Sejak terbentuk 13 Januari lalu,
Tim Kerja Antikorupsi DPD menerima sedikitnya 23 kasus koruspi di daerah. Praktik penyalahgunaan anggaran itu umumnya dilakukan pejabat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dan ketua DPRD. "Pada rapat paripurna pertama setelah bertugas di daerah pemilihan, sejumlah kasus baru juga dilaporkan. Ini bukti tim ini mendapat respons positif", ujar Ketua Tim Kerja Antikorupsi I Wayan Sudirta dalam rapat PAH I DPD di Senayan hari ini. Menurutnya, Sepuluh kasus serius akan disampaikan langsung ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh karena dugaan korupsinya sangat kuat, tapi pengusutannya macet dengan banyak alasan. (Indo Pos, 9/5/06)
Tim Kerja Antikorupsi DPD menerima sedikitnya 23 kasus koruspi di daerah. Praktik penyalahgunaan anggaran itu umumnya dilakukan pejabat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dan ketua DPRD. "Pada rapat paripurna pertama setelah bertugas di daerah pemilihan, sejumlah kasus baru juga dilaporkan. Ini bukti tim ini mendapat respons positif", ujar Ketua Tim Kerja Antikorupsi I Wayan Sudirta dalam rapat PAH I DPD di Senayan hari ini. Menurutnya, Sepuluh kasus serius akan disampaikan langsung ke Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh karena dugaan korupsinya sangat kuat, tapi pengusutannya macet dengan banyak alasan. (Indo Pos, 9/5/06)
[11] Anang
Arief Susanto, Lok Cit. h.1
[12] Glendoh
dalam Dadang Solihin, Lok Cit. h. 1
[13] Badan Pemeriksa Keuangan menemukan potensi peyimpangan
keuangan negara senilai Rp 47,4 triliun dan US$43 juta (sekitar Rp 395 miliar)
selama semester kedua 2005. Temuan diperoleh setelah badan tersebut memeriksa
534 obyek senilai Rp 402,1 triliun dan US$ 643,8 juta (Rp 5,9 triliun) pada
departemen, lembaga, provinsi, kabupaten, kota, badan usaha milik negara, dan
badan usaha milik daerah. "Dewan Perwakilan Rakyat harus menindaklanjuti
temuan ini," kata Anwar Nasution, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, saat
menyampaikan Hasil Pemeriksaan Semester Kedua 2005 di Jakarta. Dia menjelaskan
ada beberapa temuan serius pada institusi yang rawan korupsi, kolusi dan
nepotisme serta menyangkut hajat hidup orang banyak dan pelayanan sosial,
antara lain Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan PT PLN (Persero).
Berita Indonesia, on line, July 27, 2007.
[14] Hans
Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosofhy, terj. B. Arief Sidharta, Alumni Bandung, Cet. III, 2006,
dalam halaman Pengantar.
[15] I Gede A.B. Wiranata, Hukum Progresif
Versus Pembangunan Hukum (Sebuah Pencarian Model) dalam Satjipto Raharjo, Membongkar
Hukum Progresif, Buku Kompas, Cet. III, Jakarta, 2008, h. 251
[16] Jimly
Asshiddiqie, dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal
dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006, h. 9
[17] Hans
Kelsen, General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi Press,
Cet. I, (t.t) 1995, h. 3
[18]
Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif:
Hukum yang Membebaskan.
Jurnal Hukum progresif”.
Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No.
1/April 2005, hal. 7.
[19]
Satjipto Rahardjo, Membongkar Hukum
Progresif, Buku Kompas, Cet. III, Jakarta, 2008, h. 253-254
[20] Philippe Nonet dan Philippe Selznick, Law and
Society in Transition; Toward Responsive Law, terj. Raisul Muttaqien, Hukum
Responsif, Nusa Media, Bandung, 2007, h. 87
[21] Ibid.
257
[22] Hukum
Progresif, Lok. Cit. h. 18
[23] Ibid.
h. 24
[24] Op Cit.
h. 255
[25] Ibid.
144