Kamis, 05 November 2009

Kemandirian Hakim dan Pencapaian Keadilan Mahkamah Konstitusi


Jurnal Konstitusi : Vol.II No.2, Nopember 2009

Kemandirian Hakim dan Pencapaian Keadilan Mahkamah Konstitusi
Akhmad Sukris Sarmadi
Fakultas Syariah IAIN Antasari
email. a.sukris@yahoo.co.id

Theory '`trias politica`` (division of power ) dissociating expressly between three legislative power branch, executive and judikatif is base materialization of jurisdiction institute independence and justice. In the case of going to healthy jurisdiction institute hence judicial power also shall healthy is where based of independence or freedom of in realizing justice. Applying of it change UUD 1945 in fact only recognizing two executor of judgement paintbrush that is Appellate Court (MA) and Lawcourt Constitution. (MK). First, that is Appellate Court undertake as executor of judgement in jurisdiction area to uphold justice and law, while Lawcourt Constitution as isn't it judgement in civic area.
Kata kunci : Kemandirian Hakim, Keadilan dan Mahkamah Konstitusi

Pendahuluan

 Independensi dari lembaga peradilan di Indonesia sangatlah menggembirakan. Seiring dengan itu pula, ide hukum kemandirian harus diikuti dengan kemandirian hakim itu sendiri. Hal ini dikarenakan hakim merupakan penentu dalam proses peradilan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim harus terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.[1] Berangkat dari pemahaman tersebut, Kemandirian hakim sesungguhnya didasarkan pada ide comited terhadap persoalan keadilan. Kemandirian hakim sering ilustrasikan sebagai kendaraan bagi hakim untuk dapat memutus perkara yang dihadapinya dengan adil dan seadilnya. Sejauh itu pula, upaya untuk mewujudkan kemandirian hakim juga dibarengi dengan upaya mewujudkan kelembagaan peradilan yang mandiri. Teori ‘trias politica’ yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif merupakan cikal bakal perwujudan keadilan dan kemandirian lembaga peradilan. Di samping tuntutan demokrasi dewasa ini yang mencuat mendesak adanya kemandirian badan peradilan dan hakim pada sisi yang lain. Freidman mengatakan, kultur merupakan kekuatan-kekuatan sosial yang merupakan sebuah abstraksi; namun begitu kekuatan-kekuatan demikian tidak secara langsung menggerakkan sistem hukum. Orang-orang dalam masyarakat memiliki kebutuhan dan membuat tuntutan; semua ini kadang menjangkau dan kadang tidak menjangkau proses hukum.[2]

Proses kultur yang panjang dan cukup meresahkan dengan adanya tuntutan masyarakat agar terjadi kemandirian kehakiman baik bagi hakim maupun secara kelembagaan. Dan sudah sewajarnya jika pihak penguasa menyambutnya sebagai ide bagi penegakan hukum dan demokrasi masyarakat dan pada sisi lain, hukum dijadikan instrumen sosial control dengan adanya lembaga peradilan yang sehat dan mandiri. Donald Black mengatakan bahwa ``law is governmental social control``[3] yaitu hukum merupakan kontrol sosial dari pemerintah. Meliputi segala tindakan oleh suatu lembaga politik yang mengurusi batasan-batasan tatanan sosial atau pemeliharaannya.[4]

Dengan demikian, lembaga peradilan sebagai tempat aktivitas bagi para hakim seringkali dipahami dalam segi tiga yang berkaitan yaitu hakim, keadilan dan kelembagaan. Bila seseorang menyebut hakim maka tersebut pula soal keadilan maupun kelembagaannya. Demikian sebaliknya, disebut kelembagaannya maka tersebut pula soal keadilan dan hakim hingga soal sebutan keadilan, sering pula dikaitkan dengan hakim dan kelembagaannya. Kecerobohan seorang hakim dalam memahami keadilan kemudian dituangkannya dalam suatu putusan akan berdampak buruknya kelembagaan maupun kepercayaan masyarakat terhadap keadilan. Sebab, bagi masyarakat pencari keadilan, kelembagaan peradilan yang organnya adalah para hakim dengan segala putusan mereka merupakan bagian terakhir dari soal keadilan ("laatste toevlucht"). Dan dalam konteks yang lain digambarkan sebagai pemerintahan yang buruk, karena pemerintah dianggap tak dapat menciptakan keadilan.

Dalam konteks demikian, maka  peradilan  sebagai  realisasi  dari kekuasaan kehakiman mengandung arti : menerima, memeriksa, dan mengadili serta  menyelesaikan  setiap  perkara  yang  diajukan.  Atau  dengan  kata  lain, “peradilan  adalah  pelaksanaan  hukum  dalam  hal  konkrit  adanya  tuntutan  hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara  serta  bebas  dari  pengaruh  apa  atau  siapa  pun  dengan  cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah ‘eigenrichting’.[5] 

Kekuasaan Kehakiman seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para hakim. Maksudnya ialah agar para hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.[6]

Banyaknya kritik terhadap lembaga peradilan sesungguhnya tidak lepas dari kinerja para hakim di dalamnya dalam memutus perkara. Meskipun tidak semua hal dipertautkan dengan profesi hakim seperti hal-hal yang bersifat administratif, berlakunya hukum formil, tekstual. Jalannya peradilan tidak cepat seperti yang diharapkan, sehingga dengan berlarut-larutnya jalannya peradilan beaya berperkara akan meningkat, sehingga asas biaya ringan tidak terpenuhi. Beracara di pengadilan tidaklah sederhana: berbelit-belit. Banyak putusan pengadilan yang tidak memuaskan, karena pertimbangan hukumnya terlalu sumir, penemuan hukumnya tidak tepat, terlalu formalistis, kurang profesional dan sebagainya.[7] Terlebih dengan adanya issu suap dan kolusi. Namun bagi sebagian masyarakat pencari keadilan selalu saja ada kecendrungan untuk menyalahkan hakim.

Berangkat dari demikian, kemandirian hakim sangatlah menarik untuk dijabarkan dalam satu pembahasan penting dikarenakan ia merupakan kunci dari keadilan itu sendiri. Di samping menjadi pusat perhatian para pencari keadilan. Profesionalisme hakim dalam kemandiriannya selama ini telah terlanjur menjadi citra tersendiri bagi penegakan keadilan. Terlebih keadilan bagi lembaga baru di Indonesia seperti Mahkamah Konstitusi adalah sisi yang paling menarik kaitannya dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.



Kekuasaan Kehakiman : Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan  tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya  untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[8] Dengan demikian, konstitusi negara Republik Indonesia sendiri telah menjamin adanya kemandirian dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu kemandirian bagi kelembagaan peradilan maupun kemandirian bagi hakim itu sendiri yang sehari-harinya beraktifitas di lembaga peradilan.

Pengalaman pahit bangsa Indonesia dalam soal ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi menjadikan negara hanya menjadi bulan-bulanan pihak penguasa dan rezim masa itu sehingga telah mencederai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Untuk itu, hadirnya Mahkamah Konstitusi,[9] sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, di samping  Mahkamah  Agung  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan dan dimaksudkan menepis kemungkinan berulangnya sejarah pahit ketatanegaraan. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan bertujuan agar tetap terpeliharanya konstitusi dan terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil. Dengan adanya MK telah menempatkan   semua   lembaga  negara  dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Dengan prinsip checks and balances, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara.

Berlakunya perubahan pada UUD 1945 sebenarnya hanya mengenal dua pelaksana kekuasan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.[10] Kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung adalah lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara. Sebelum perubahan UUD 1945 belum dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan pahit sejarah negara ini untuk mewujudkan kemandirian kehakiman sebenarnya telah lama dilakukan, dalam historisnya diberlakukan UU N0. 14 tahun 1970. Kemudian dirubah dengan UU No. 35 tahun 1999 dan dirubah kembali dengan UU No. 4 tahun 2004. seiring dengan beberapa kali perubahan pada UUD 1945, perubahan terakhir pada UU tentang kekuasaan kehakiman adalah berlakunya UU No. 4 tahun 2004 seperti yang disebut dalam bagian menimbang huruf b pada UU No. 4 tahun 2004,  bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam hal menuju lembaga peradilan yang sehat maka kekuasaan kehakiman juga haruslah sehat di mana didasarkan atas kebebasan atau kemerdekaannya dalam mewujudkan keadilan. Adanya perubahan UU dari waktu kewaktu pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan kemandirian kehakiman yang sesungguhnya. Dan yang terpokok dan utama harus didahulukan adalah menyangkut reformasi kekuasaan kehakimannya, khususnya bagi Mahkamah Agung. Lebih jauh Paulus E Lotulung megatakan, sbb :[11]

``Salah satu pasal dahulu dalam Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tersebut yang dapat mengganggu independensi badan-badan pengadilan, yaitu Pasal 11 yang menentukan secara organisatoris, administratif dan finansiil badan-badan peradilan berada dibawah Departemen yang terkait (eksekutif), sedangkan dilain pihak Pasal 10 menentukan bahwa peradilan tertinggi adalah Mahkamah Agung Yang melakukan pengawasan maupun kasasi dan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut. Dengan perkataan lain, ada dualisme pembinaan hakim yaitu pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dan pembinaan administratif oleh Departemen (eksekutif) yang bersangkutan. Keadaan inilah yangl lazim disebut dengan adanya sistem dua atap dalam badan-badan peradilan, yang akan segera diakhiri dengan penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan implementasi dari Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 yang berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, maka peralihan kewenangan Departemen (eksekutif) terhadap badan-badan peradilan sehingga menjadi dibawah satu atap di Mahkamah Agung dilaksanakan secara bertahap dalam tempo 5 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, yang berarti antara tahun 1999 s/d tahun 2004. Sehingga dengan demikian sudah tidak akan ada lagi dualisme dalam pembinaan badan-badan peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah kewenangan Mahkamah Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun administratlif, organisatoris dan finansiil.``

           

Dengan demikian, berlakunya UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah menghilangkan dualisme pembinaan kehakiman yang dulunya lembaga peradilan di bawah dua atap yaitu eksekutif pada administratifnya dan yudikatif pada aspek teknisnya. Kritik atas dualisme pembinaan tersebut waktu itu sangat tajam dikarenakan adanya anggapan bahwa selama terjadi dualisme kekuasaan dalam pembinaan badan peradilan maka berarti lembaga peradilan sekaligus praktik para hakim tidak akan dapat mandiri dan cendrung selalu berpihak pada penguasa serta akan memarjinalisasikan keadilan pada pihak lain. Usulan seperti demikian akhirnya dapat diterima dan dibakukan dalam teks undang-undang no. 4 tahun 2004. Harapannya tidak lain bahwa Kekuasaan Kehakiman yang mandiri atau independen akan dapat menciptakan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah  Rule of Law. Dan pada gilirannya tercipta masyarakat yang adil dan memenuhi kehendak pencari keadilan dengan sendirinya.

            Selanjutnya, amanat dalam UUD 1945 dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6) menyebut adanya Mahkamah Konstitusi menjadikan lembaga ini disebut sebagai lembaga yang termasuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dengan tugas yang berbeda, meskipun keduanya menjalankan peradilan. Yang pertama, yaitu Mahkamah Agung bertugas sebagai pelaksana kehakiman di bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[12] sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[13] di bidang ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi dan berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan seperti rumusan Pasal 1 ayat 3 huruf (a) pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (c) pembubaran partai  politik; (d) perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau (e) pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak  lagi    memenuhi    syarat   sebagai   Presiden   dan/atau  Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

            Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi tidak lain sebagai pelaksanaka kekuasaan kehakiman di bidang peradilan tata Negara yang membedakannya dengan Mahkamah Agung. Ini berarti menjadi lengkaplah kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan demokrasi. System konstitusi yang ada pada Negara ini akan terpelihara di mana UUD 1945 dijadikan sebagai norma tertinggi, dan sumber segala peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan. Tugas Mahkamah Konstitusi untuk menjaga segala peraturan perundang-undangan untuk tidak bertentangan dengan norma tertinggi, yaitu peraturan yang paling mendasar berupa suatu UUD 1945.

Kemandirian dan Kebebasan Hakim Mahkamah Konstitusi

Dalam hal pengujian Undang-Undang, Hakim Mahkamah Konstitusi dipastikan menguasai segala falsafah dari suatu Undang-Undang Dasar sebagai penjabaran dari nilai falsafah Pancasila. Dari sanalah, hakim konstitusi akan menentukan apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dari UUD RI 1945. kenyataan ini sangat membedakan diri seorang hakim pada kebanyakan hakim pada umumnya seperti dalam ajaran Hans Kelsen sebagai penganut positivisme berpendapat, hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.[14] Lebih jauh ia mengatakan, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum seperti yang dibedakan dari keadilan, adalah hukum positif. Yang dibicarakan di sini adalah konsep hukum positif dan ilmu hukum positif harus dibedakan dengan tegas dari filsafat keadilan.[15] Dengan pola berpikir seperti ini, hakimpun tidak boleh berbuat lain, kecuali menjadi corong dari undang-undang (”Les juges de la nation ne sont que les bouches, qui prononcent les paroles de la loi, des etres inanimes, qui peuvent moderer ni la force ni la rigeur”,). Hakim sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun untuk mengubah dan menafsirkan undang-undang. Kepastian hukum pun muncul sebagai suatu barang yang nyata dan menjadi ikon. Berbicara hukum adalah berbicara mengenai suatu kepastian. Dalam atmosfer seperti itu, maka cara berhukum pun sudah seperti mesin dan tidak berbeda daripada mengerjakan soal matematika. Paul Scholten mengatakan tentang cara berhukum seperti itu, sebagai ”het hanteren van logische jiguren”.[16] Masalahnya adalah Hukum tidak bergerak dalam ruang hampa, ia selalu berada dalam  tatanan sosial  tertentu dan manusia yang hidup.[17] Antony  Allott  pun  berpendapat  serupa, bahwa hukum adalah sesuatu yang berkaitan dengan fakta, hukum ada atau norma itu  ada  dan  tidak  berkaitan  dengan  nilai.[18]

Hal ini terungkap dalam pendapat L.A. Hart, bahwa ada 5 pandangan positivisme hukum. Empat diantaranya adalah: (i) hukum adalah perintah  dari pemilik kedaulatan; (ii) tidak terdapat koneksi antara hukum dengan moral; dan (iii)  analisis atau studi mengenai makna konsep hukum untuk membedakannya dengan studi sejarah dan sosiologi, mengenai moral dan cita-cita sosial, dan (iv) bahwa sistem hukum adalah sistem logika yang tertutup.[19] 

Oleh karenanya, Bentham berpendapat  bahwa  pembentuk  hukum  dan  undang-undang  hendaknya  dapat melahirkan undang-undang dan putusan yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.  Dengan  berpegang  pada  prinsip  ini,  hukum  yang  dihasilkan  hendaknya memberikan manfaat dan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat.[20] Hukum  dan moral merupakan  dua  hal  yang  tidak  bisa  dipisahkan. Hukum harus  bermuatan  moral  dan  moral  harus  bermuatan  hukum,  mengingat  moral  itu merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya, maka hukum yang efisien dan efektif adalah yang bisa memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.[21] 

Bila hukum tidak dapat dipisahkan dengan moral, sedemikian pula suatu putusan seperti halnya antara falsafah dasar Pancasila sebagai sumber nilai moral yang terjabar dalam UUD RI 1945 dan seterusnya moral menjadi ruh dalam pengujian suatu undang-undang.

 Dalam pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini berlaku bagi semua lingkungan peradilan maupun kekuasaan kehakiman, baik pada Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

Dalam pasal di atas digambarkan bahwa keadilan berdasar Pancasila yang merupakan moral normatif tertinggi negara hukum Republik Indonesia. Sementara itu pula kekuasaan kehakiman (yang merdeka) adalah guna terselenggaranya penegakan hukum dan keadilan. Selanjutnya untuk mencapai terselenggaranya penegakan hukum dan keadilan adalah tidak adanya campur tangan orang lain; pihak penguasa seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) bahwa Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, dua kekuasaan lainnya (eksekutif dan legislatif)  yang  berada  berdampingan  dengan  kekuasaan kehakiman tidak boleh mencampuri segala urusan peradilan yang merupakan realisasi Kekuasaan Kehakiman.[22]

            Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, legal form bagi kemandirian hakim telah terpenuhi. Dan semua ini harus diiringi dengan sikap dan profesionalisme hakim. Yaitu adanya keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sebagaimana tertuang dalam butir pasal 19 ayat (5) dan (6) UU N0. 4 tahun 2004, sbb :

(5)  Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

(6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

            Dalam pasal tersebut di atas, ada kemandirian, kebebasan seorang hakim untuk berpendapat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari siapapun. Mesipun ia hanya seorang anggota dalam majelis hakim. Dengan kata lain sekalipun seorang ketua majelis tak dapat merubah atau menekan anggota majelisnya. Demikian pula ketua pengadilan sekalipun terhadap majelis hakim dalam memeriksa perkaranya. Masing-masing mereka independen sesuai seperangkat pengetahuan mereka tentang hukum dan hasil pengamatan langsungnya terhadap bukti-bukti yang ada dalam persidangan.

            Meskipun demikian, rapat majelis hakim tetap rahasia, tanpa didengar oleh siapapun. Tetapi tetap secara tertulis menyampaikan pendapatnya. Bahkan atas suatu pendapat yang berbeda dari anggota lain dalam majelis tersebut. Jadi kebebasan pendapat bagi seorang hakim adalah jati diri kemandirian bagi seorang hakim.

Berangkat dari sini, terkadang sering dipertanyakan, apakah kebebasan bagi seorang hakim itu sangat mutlak, obsolut? Paulus E Lotulung mengatakan, sbb :[23]

Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi Kekuasaan Kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat saya tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.  Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial / materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam  melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah  "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary". Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula : political accountability / legal accountability of state, dan personal accountability of the judge.

            Jadi persoalan kebebasan berpendapat bagi seorang hakim dalam independensinya tidaklah bersifat mutlak tanpa batas dan rambu. Rambu itu sendiri adalah moral yang ada yang didasarkan pada falsafah Pancasila. Dalam konteks bahasa lain adalah tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri ataupun undang-undang yang melarangnya. Dengan kata lain, setiap pendapat seorang hakim dalam kebebasannya haruslah selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai koridor keadilan dalam berpendapat. Hal ini sesungguhnya telah ditegaskan secara rinci dalam pasal 25 ayat (1) UU No.4 tahun 2004, yaitu bahwa Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

            Berdasarkan demikian, kebebasan berpendapat bagi seorang hakim baik sendiri-sendiri sebagai pribadi maupun secara bersama-sama dalam suatu majelis yang melahirkan suatu putusan adalah dalam koridor hukum yang berlaku baik secara tertulis maupun tak tertulis serta dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah keharusan seorang hakim yang tidak hanya sebagai corong undang-undang tetapi juga corong dari moral. Sementara moral yang diakui dalam konsensus adalah Pancasila.

Keadilan; aktivitas keharusan bagi Hakim

            Adil dan yang seadil-adilnya secara mutlak hanyalah milik Tuhan. Sementara hakim dituntut untuk berlaku adil semampu mereka. Ajaran moral juga mengenal dan berpandangan bahwa keadilan harus ditegakkan di muka bumi ini. Misalnya dalam ajaran agama Islam disebutkan, sbb :

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. QS An Nisaa 135

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. QS An Nisa 58

           

Manusia dan siapapun ia, diberi amanat untuk menegakkan keadilan dalam hidup mereka semampunya. Terlebih bagi seorang hakim yang nota bene hanya memiliki pekerjaan dalam rentang soal keadilan. Dalam pasal 4 ayat (1) UU N0. 4 tahun 2004 ditegaskan, sbb : Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Ini menunjukkan bahwa apapun putusan di Pengadilan adalah demi keadilan tidak lain dari itu. Dan berdasar undang-undang itu pula bahwa keadilan dimaksud berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

            Sebagai pro-keadilan, hakim secara merdeka dapat mengutarakan pendapatnya, sebebasnya demi terwujudnya keadilan. Segala bentuk intervensi yang mengganggu keadilannya seorang hakim harus ditolaknya sebagaimanapun. Baik intervensi itu dari eksekutif maupun dari masyarakat. Bagian terakhir ini terkadang dirasa sulit bagi seorang hakim dewasa ini karena desakan ekonomi maupun hal-hal yang bersifat refresif yang tidak kondusif. Di samping kenyataan, seperti yang dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa Kultur birokrasi dan organisasi negara yang penuh KKN berpengaruh dalam semua sektor kelembagaan negara, tak terkecuali di lingkungan organisasi kekuasaan kehakiman. Kita semua tidak perlu malu mengakui kenyataan ini dalam rangka membangun kesadaran baru mengenai pentingnya memperbaiki diri dalam rangka memberbaiki keseluruhan keadaan nasional yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Celakanya lagi, kultur masyarakat yang kita warisi dari masa lalu, juga cenderung memberikan pembenaran terhadap kecenderungan terjadinya sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan itu. Sebagian terbesar warga masyarakat kita masih hidup dalam bayang-bayang sikap yang sangat paternalistik. Hubungan kebudayaan masih sangat dipengaruhi oleh sistem keteladanan pemimpin.[24]

Adanya dissenting opinion dalam majlis hakim bisa dikatakan sebagai wujud langsung dari keadilan itu sendiri baik sebagai pribadi maupun antara hakim lain dalam satu majelis duduk sama rata. Hans Kelsen sendiri menjadikan satu dari empat syarat untuk adanya “Negara Hukum”,yaitu syarat lembaga peradilan yang bebas dan mandiri. Kebebasan dan kemandirian hakim mengandung makna bahwa putusan hakim tidak boleh atas dasar tekanan opini publik atau tekanan pernyataan-pernyataan yang menurut istilah Prof Achmad Ali sebagai “pernyataan monopoli kebenaran”, yang ingin memaksakan kepentingannya agar hakim memutus sesuai kepentingan kelompok mereka.[25] Dissenting opinion telah memberi sentuhan makna kebebasan pendapat hakim tentang keadilan tanpa ada pengaruh siapapun.

Penutup

            Mahkamah Konstitusi lahir karena adanya amanat dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6) UUD 1945 menyebut adanya Mahkamah Konstitusi menjadikan lembaga ini disebut sebagai lembaga yang termasuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dengan tugas yang berbeda, meskipun keduanya menjalankan peradilan. Yang pertama, yaitu Mahkamah Agung bertugas sebagai pelaksana kehakiman di bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[26] sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[27] di bidang ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi dan berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan.

            Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, seperti juga terbutir dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, maupun dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berarti sebagai lembaga yang mandiri penegak hukum dan keadilan di bidang tata negara, harus pula diiringi dengan penciptaan sedini mungkin suatu kultur bagi hakim untuk selalu dan memiliki sifat dan watak keadilan itu sendiri, berwawasan moral. Dan yang utama di sini adalah semangat bagi hakim-hakim untuk memperbaiki diri mereka dan menjadikannya sebagai kultur pada aktivitas kerja sehari-harinya. Idealnya bahwa suatu penciptaan keadilan bagi pencari keadilan bukan hanya bertumpu pada kemerdekaan dan kemandirian kelembagaan peradilan. Tetapi juga kemandirian dan kemerdekaan berpendapat bagi seorang hakim. Keadilan bukanlah formalistik buta terhadap moral dan moral itu sendiri adalah falsafah Pancasila.


Referensi

Adji, Oemar Seno. 1976. Hukum ( Acara ) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1980.

----------------------,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980

Allott, Antony., The Limit of Law, Butterworths, London, 1980.

Asshiddiqie, Jimly., Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000

--------------------------------------------- dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006.

Black, Donald., The Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976

Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Harjono  dalam  “Lembaga  Negara  dalam  UUD  1945”  Jurnal  Konstitusi  Vol.4  No.2,  Juni  2007

Hamzah, Andy, Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, h.7

Friedman, Lawrence M., The Legal Sistem, A Social Science Perspective, terj. M. Khozin, Nusa Media, Bandung, 2009

Jane Banfield (edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture Press, 1993

Kelsen, Hans., General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi Press, Cet. I, (t.t) 1995

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi,, Penerbit STIH IBLAM, 2004

-----------, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945, Hand Out Materi Kuliah, 2007 dalam Kuliah angkatan XV Untag Surabaya 2008-2009

Mertokusumo,R.M. Sudikno., Sistem Peradilan di Indonesia;  dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997


Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.

Prodjodikuro, Wirjono., Hukum Acara Pidana di Indonesia Penerbit "Sumur Bandung" Djakarta. 1967.

---------------------: Bunga Rampai Hukum, Jakarta: lchtiar Baru, 1974.

Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum,  Mandar Maju, Bandung, 1988

Rahardjo, Satjipto., Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI. (t.t)

Saleh, K. Wantjik., Kehakiman dan Peradilan.  Jakarta: Simbur Cahaya,  1976

Wiwie Heryani , Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian Opini, Rabu, 20 Agustus 2008

Warassih, Esmi.,  Pranata  Hukum,  Sebuah  Telaah  Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005,








[1] Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi,, Penerbit STIH IBLAM, 2004 h. 13


[2] Lawrence M Friedman, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, terj. M. Khozin, Nusa Media, Bandung, 2009. h. 17


[3] Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976, h. 2


[4] Donald Black dalam Freidman, Op. Cit. H. 8


[5] R.M. Sudikno Mertokusumo,  Sistem Peradilan di Indonesia;  dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997, halaman  2.


[6] Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000, h. 1



[8] Pembukaan pada Penjelasan UU N0.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, h.1


[9] Berlakunya UU N0. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


[10] Harjono  dalam  “Lembaga  Negara  dalam  UUD  1945”  Jurnal  Konstitusi  Vol.4  No.2,  Juni  2007,  h.16.


[11] Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, h.2-3


[12] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.


[13] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang  Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.




[14] Jimly Asshiddiqie, dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006, h. 9


[15] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi Press, Cet. I, (t.t) 1995,  h. 3


[16] Satjipto Rahardjo, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI. (t.t), h. 74-75


[17] Satjipto  Rahardjo  dalam  Esmi  Warassih,  Pranata  Hukum,  Sebuah  Telaah  Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, h. 3.


[18] Antony Allott, The Limit of Law, Butterworths, London, 1980, h. xi.


[19] Jane Banfield (edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture Press, 1993, h.. 2 dan 9.

Vide Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, h. 114-115.  


[20] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum,  Mandar Maju, Bandung, 1988, h. 37. 


[21] Gerald J. Postema, Bentham And The Common Law dalam. Abdul Manan, Lok. Cit. h. 20-21.


[22] K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan.  Jakarta: Simbur Cahaya,  1976, halaman 17.


[23] Paulus E Lotulung, Ibid, h. 6-7


[24] Jimly Asshiddiqie, Lok. Cit, h. 1


[25] Wiwie Heryani , Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian Opini, Rabu, 20 Agustus 2008


[26] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.


[27] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang  Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.