Jurnal Konstitusi : Vol.II No.2, Nopember 2009
Kemandirian
Hakim dan Pencapaian Keadilan Mahkamah Konstitusi
Akhmad Sukris Sarmadi
Fakultas Syariah IAIN Antasari
email. a.sukris@yahoo.co.id
Theory '`trias politica`` (division of
power ) dissociating expressly between three legislative power branch,
executive and judikatif is base materialization of jurisdiction institute
independence and justice. In the case of going to healthy jurisdiction institute
hence judicial power also shall healthy is where based of independence or
freedom of in realizing justice. Applying of it change UUD 1945 in fact only
recognizing two executor of judgement paintbrush that is Appellate Court (MA)
and Lawcourt Constitution. (MK). First, that is Appellate Court undertake as
executor of judgement in jurisdiction area to uphold justice and law, while
Lawcourt Constitution as isn't it judgement in civic area.
Kata kunci : Kemandirian Hakim, Keadilan dan Mahkamah Konstitusi
Pendahuluan
Proses kultur yang
panjang dan cukup meresahkan dengan adanya tuntutan masyarakat agar terjadi
kemandirian kehakiman baik bagi hakim maupun secara kelembagaan. Dan sudah
sewajarnya jika pihak penguasa menyambutnya sebagai ide bagi penegakan hukum
dan demokrasi masyarakat dan pada sisi lain, hukum dijadikan instrumen sosial
control dengan adanya lembaga peradilan yang sehat dan mandiri. Donald Black
mengatakan bahwa ``law is governmental social control``[3]
yaitu hukum merupakan kontrol sosial dari pemerintah. Meliputi segala tindakan
oleh suatu lembaga politik yang mengurusi batasan-batasan tatanan sosial atau
pemeliharaannya.[4]
Dengan demikian, lembaga peradilan sebagai
tempat aktivitas bagi para hakim seringkali dipahami dalam segi tiga yang
berkaitan yaitu hakim, keadilan dan kelembagaan. Bila seseorang menyebut hakim
maka tersebut pula soal keadilan maupun kelembagaannya. Demikian sebaliknya,
disebut kelembagaannya maka tersebut pula soal keadilan dan hakim hingga soal
sebutan keadilan, sering pula dikaitkan dengan hakim dan kelembagaannya.
Kecerobohan seorang hakim dalam memahami keadilan kemudian dituangkannya dalam
suatu putusan akan berdampak buruknya kelembagaan maupun kepercayaan masyarakat
terhadap keadilan. Sebab, bagi masyarakat pencari keadilan, kelembagaan
peradilan yang organnya adalah para hakim dengan segala putusan mereka merupakan
bagian terakhir dari soal keadilan ("laatste
toevlucht"). Dan
dalam konteks yang lain digambarkan sebagai pemerintahan yang buruk, karena pemerintah
dianggap tak dapat menciptakan keadilan.
Dalam konteks demikian,
maka peradilan sebagai
realisasi dari kekuasaan
kehakiman mengandung arti : menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang
diajukan. Atau dengan
kata lain, “peradilan adalah
pelaksanaan hukum dalam
hal konkrit adanya
tuntutan hak, fungsi mana
dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta
bebas dari pengaruh
apa atau siapa
pun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah ‘eigenrichting’.[5]
Kekuasaan Kehakiman seperti ditegaskan
dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka,
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa
dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu,
terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional.
Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional
saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi
yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses
pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim.
Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman
dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para
hakim. Maksudnya ialah agar para hakim dapat bekerja profesional dan tidak
dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam
undang-undang.[6]
Banyaknya kritik
terhadap lembaga peradilan sesungguhnya tidak lepas dari kinerja para hakim di
dalamnya dalam memutus perkara. Meskipun tidak semua hal dipertautkan dengan
profesi hakim seperti hal-hal yang bersifat administratif, berlakunya hukum
formil, tekstual. Jalannya peradilan tidak cepat seperti yang diharapkan,
sehingga dengan berlarut-larutnya jalannya peradilan beaya berperkara akan
meningkat, sehingga asas biaya ringan tidak terpenuhi. Beracara di pengadilan
tidaklah sederhana: berbelit-belit. Banyak putusan pengadilan yang tidak
memuaskan, karena pertimbangan hukumnya terlalu sumir, penemuan hukumnya tidak
tepat, terlalu formalistis, kurang profesional dan sebagainya.[7] Terlebih dengan adanya
issu suap dan kolusi. Namun bagi sebagian masyarakat pencari keadilan selalu saja
ada kecendrungan untuk menyalahkan hakim.
Berangkat dari demikian,
kemandirian hakim sangatlah menarik untuk dijabarkan dalam satu pembahasan
penting dikarenakan ia merupakan kunci dari keadilan itu sendiri. Di samping
menjadi pusat perhatian para pencari keadilan. Profesionalisme hakim dalam
kemandiriannya selama ini telah terlanjur menjadi citra tersendiri bagi
penegakan keadilan. Terlebih keadilan bagi lembaga baru di Indonesia seperti
Mahkamah Konstitusi adalah sisi yang paling menarik kaitannya dengan kedudukan
Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman : Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.[8]
Dengan demikian, konstitusi negara Republik Indonesia sendiri telah menjamin
adanya kemandirian dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu kemandirian
bagi kelembagaan peradilan maupun kemandirian bagi hakim itu sendiri yang
sehari-harinya beraktifitas di lembaga peradilan.
Pengalaman pahit bangsa Indonesia dalam
soal ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi
menjadikan negara hanya menjadi bulan-bulanan pihak penguasa dan rezim masa itu
sehingga telah mencederai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Untuk itu,
hadirnya Mahkamah Konstitusi,[9]
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan dan dimaksudkan menepis
kemungkinan berulangnya sejarah pahit ketatanegaraan. Bahkan bisa dikatakan
sebagai salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan bertujuan agar tetap
terpeliharanya konstitusi dan terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil.
Dengan adanya MK telah menempatkan semua
lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Dengan prinsip checks and
balances, keberadaan Mahkamah
Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga
negara.
Berlakunya perubahan pada UUD 1945
sebenarnya hanya mengenal dua pelaksana kekuasan kehakiman yaitu Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.[10]
Kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung adalah lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara. Sebelum perubahan UUD
1945 belum dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga didasarkan pada
kenyataan pahit sejarah negara ini untuk mewujudkan kemandirian kehakiman
sebenarnya telah lama dilakukan, dalam historisnya diberlakukan UU N0. 14 tahun
1970. Kemudian dirubah dengan UU No. 35 tahun 1999 dan dirubah kembali dengan
UU No. 4 tahun 2004. seiring dengan beberapa kali perubahan pada UUD 1945,
perubahan terakhir pada UU tentang kekuasaan kehakiman adalah berlakunya UU No.
4 tahun 2004 seperti yang disebut dalam bagian menimbang huruf b pada UU No. 4
tahun 2004, bahwa perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam hal menuju
lembaga peradilan yang sehat maka kekuasaan kehakiman juga haruslah sehat di
mana didasarkan atas kebebasan atau kemerdekaannya dalam mewujudkan keadilan.
Adanya perubahan UU dari waktu kewaktu pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan
kemandirian kehakiman yang sesungguhnya. Dan yang terpokok dan utama harus
didahulukan adalah menyangkut reformasi kekuasaan kehakimannya, khususnya bagi
Mahkamah Agung. Lebih jauh Paulus E Lotulung megatakan, sbb :[11]
``Salah satu pasal dahulu dalam Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tersebut yang dapat mengganggu independensi
badan-badan pengadilan, yaitu Pasal 11 yang menentukan secara organisatoris,
administratif dan finansiil badan-badan peradilan berada dibawah Departemen yang
terkait (eksekutif), sedangkan dilain pihak Pasal 10 menentukan bahwa peradilan
tertinggi adalah Mahkamah Agung Yang melakukan pengawasan maupun kasasi dan
peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut. Dengan
perkataan lain, ada dualisme pembinaan hakim yaitu pembinaan teknis oleh
Mahkamah Agung dan pembinaan administratif oleh Departemen (eksekutif) yang
bersangkutan. Keadaan inilah yangl lazim disebut dengan adanya sistem dua atap
dalam badan-badan peradilan, yang akan segera diakhiri dengan penerapan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan implementasi
dari Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 yang berkaitan dengan pemisahan yang
tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, maka peralihan kewenangan Departemen (eksekutif)
terhadap badan-badan peradilan sehingga menjadi dibawah satu atap di Mahkamah
Agung dilaksanakan secara bertahap dalam tempo 5 tahun sejak Undang-Undang
tersebut diundangkan, yang berarti antara tahun 1999 s/d tahun 2004. Sehingga
dengan demikian sudah tidak akan ada lagi dualisme dalam pembinaan badan-badan
peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah kewenangan Mahkamah
Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun administratlif, organisatoris dan
finansiil.``
Dengan demikian, berlakunya UU No. 4 tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman telah menghilangkan dualisme pembinaan
kehakiman yang dulunya lembaga peradilan di bawah dua atap yaitu eksekutif pada
administratifnya dan yudikatif pada aspek teknisnya. Kritik atas dualisme
pembinaan tersebut waktu itu sangat tajam dikarenakan adanya anggapan bahwa
selama terjadi dualisme kekuasaan dalam pembinaan badan peradilan maka berarti
lembaga peradilan sekaligus praktik para hakim tidak akan dapat mandiri dan
cendrung selalu berpihak pada penguasa serta akan memarjinalisasikan keadilan
pada pihak lain. Usulan seperti demikian akhirnya dapat diterima dan dibakukan
dalam teks undang-undang no. 4 tahun 2004. Harapannya tidak lain bahwa
Kekuasaan Kehakiman yang mandiri atau independen akan dapat menciptakan
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of Law. Dan pada gilirannya tercipta
masyarakat yang adil dan memenuhi kehendak pencari keadilan dengan sendirinya.
Selanjutnya,
amanat dalam UUD 1945 dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6) menyebut adanya
Mahkamah Konstitusi menjadikan lembaga ini disebut sebagai lembaga yang
termasuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dengan tugas
yang berbeda, meskipun keduanya menjalankan peradilan. Yang pertama, yaitu
Mahkamah Agung bertugas sebagai pelaksana kehakiman di bidang peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan,[12]
sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[13]
di bidang ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi
dan berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan seperti rumusan Pasal 1 ayat 3
huruf (a) pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; (b) sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; (c) pembubaran partai politik; (d) perselisihan tentang hasil pemilihan
umum; atau (e) pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi
tidak lain sebagai pelaksanaka kekuasaan kehakiman di bidang peradilan tata
Negara yang membedakannya dengan Mahkamah Agung. Ini berarti menjadi lengkaplah
kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan demokrasi. System
konstitusi yang ada pada Negara ini akan terpelihara di mana UUD 1945 dijadikan
sebagai norma tertinggi, dan sumber segala peraturan perundang-undangan yang
akan diberlakukan. Tugas Mahkamah Konstitusi untuk menjaga segala peraturan
perundang-undangan untuk tidak bertentangan dengan norma tertinggi, yaitu
peraturan yang paling mendasar berupa suatu UUD 1945.
Kemandirian dan Kebebasan Hakim Mahkamah
Konstitusi
Dalam hal
pengujian Undang-Undang, Hakim Mahkamah Konstitusi dipastikan menguasai segala
falsafah dari suatu Undang-Undang Dasar sebagai penjabaran dari nilai falsafah
Pancasila. Dari sanalah, hakim konstitusi akan menentukan apakah suatu
undang-undang bertentangan atau tidak dari UUD RI 1945. kenyataan ini sangat
membedakan diri seorang hakim pada kebanyakan hakim pada umumnya seperti dalam
ajaran Hans Kelsen sebagai penganut positivisme berpendapat, hukum tidak
dibatasi oleh pertimbangan moral.[14]
Lebih jauh ia mengatakan, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda.
Hukum seperti yang dibedakan dari keadilan, adalah hukum positif. Yang
dibicarakan di sini adalah konsep hukum positif dan ilmu hukum positif harus
dibedakan dengan tegas dari filsafat keadilan.[15]
Dengan pola berpikir seperti ini, hakimpun tidak boleh berbuat lain, kecuali menjadi corong dari
undang-undang (”Les juges de la nation ne sont que les bouches, qui prononcent
les paroles de la loi, des etres inanimes, qui peuvent moderer ni la force ni
la rigeur”,). Hakim sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun untuk mengubah
dan menafsirkan undang-undang. Kepastian hukum pun muncul sebagai suatu barang
yang nyata dan menjadi ikon. Berbicara hukum adalah berbicara mengenai suatu
kepastian. Dalam atmosfer seperti itu, maka cara berhukum pun sudah seperti mesin dan
tidak berbeda daripada mengerjakan soal matematika. Paul Scholten mengatakan
tentang cara berhukum seperti itu, sebagai ”het hanteren van logische jiguren”.[16]
Masalahnya adalah Hukum tidak
bergerak dalam ruang hampa, ia selalu berada dalam tatanan sosial tertentu dan manusia yang hidup.[17] Antony Allott
pun berpendapat serupa, bahwa hukum adalah sesuatu yang
berkaitan dengan fakta, hukum ada atau norma itu ada
dan tidak berkaitan
dengan nilai.[18]
Hal ini
terungkap dalam pendapat L.A. Hart, bahwa ada 5 pandangan positivisme hukum.
Empat diantaranya adalah: (i) hukum adalah perintah dari pemilik kedaulatan; (ii) tidak terdapat
koneksi antara hukum dengan moral; dan (iii)
analisis atau studi mengenai makna konsep hukum untuk membedakannya
dengan studi sejarah dan sosiologi, mengenai moral dan cita-cita sosial, dan
(iv) bahwa sistem hukum adalah sistem logika yang tertutup.[19]
Oleh karenanya, Bentham
berpendapat bahwa pembentuk
hukum dan undang-undang
hendaknya dapat melahirkan
undang-undang dan putusan yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan
berpegang pada prinsip
ini, hukum yang
dihasilkan hendaknya memberikan
manfaat dan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat.[20]
Hukum dan moral merupakan dua
hal yang tidak
bisa dipisahkan. Hukum harus bermuatan
moral dan moral
harus bermuatan hukum,
mengingat moral itu merupakan salah satu sendi utama
kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya, maka hukum yang efisien dan
efektif adalah yang bisa memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya kepada
masyarakat luas.[21]
Bila hukum tidak
dapat dipisahkan dengan moral, sedemikian pula suatu putusan seperti halnya
antara falsafah dasar Pancasila sebagai sumber nilai moral yang terjabar dalam
UUD RI 1945 dan seterusnya moral menjadi ruh dalam pengujian suatu
undang-undang.
Dalam pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan :
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini berlaku
bagi semua lingkungan peradilan maupun kekuasaan kehakiman, baik pada Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal di
atas digambarkan bahwa keadilan berdasar Pancasila yang merupakan moral
normatif tertinggi negara hukum Republik Indonesia. Sementara itu pula kekuasaan
kehakiman (yang merdeka) adalah guna terselenggaranya penegakan hukum dan
keadilan. Selanjutnya untuk mencapai terselenggaranya penegakan hukum dan
keadilan adalah tidak adanya campur tangan orang lain; pihak penguasa seperti
dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) bahwa Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, dua kekuasaan lainnya (eksekutif dan
legislatif) yang berada
berdampingan dengan kekuasaan kehakiman tidak boleh mencampuri
segala urusan peradilan yang merupakan realisasi Kekuasaan Kehakiman.[22]
Berdasarkan
pasal-pasal tersebut di atas, legal form bagi kemandirian hakim telah
terpenuhi. Dan semua ini harus diiringi dengan sikap dan profesionalisme hakim.
Yaitu adanya keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sebagaimana tertuang
dalam butir pasal 19 ayat (5) dan (6) UU N0. 4 tahun 2004, sbb :
(5)
Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
(6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap
hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara
yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat
hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Dalam
pasal tersebut di atas, ada kemandirian, kebebasan seorang hakim untuk
berpendapat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari siapapun. Mesipun ia hanya
seorang anggota dalam majelis hakim. Dengan kata lain sekalipun seorang ketua
majelis tak dapat merubah atau menekan anggota majelisnya. Demikian pula ketua
pengadilan sekalipun terhadap majelis hakim dalam memeriksa perkaranya.
Masing-masing mereka independen sesuai seperangkat pengetahuan mereka tentang
hukum dan hasil pengamatan langsungnya terhadap bukti-bukti yang ada dalam
persidangan.
Meskipun
demikian, rapat majelis hakim tetap rahasia, tanpa didengar oleh siapapun.
Tetapi tetap secara tertulis menyampaikan pendapatnya. Bahkan atas suatu
pendapat yang berbeda dari anggota lain dalam majelis tersebut. Jadi kebebasan
pendapat bagi seorang hakim adalah jati diri kemandirian bagi seorang hakim.
Berangkat dari sini, terkadang sering
dipertanyakan, apakah kebebasan bagi seorang hakim itu sangat mutlak, obsolut?
Paulus E Lotulung mengatakan, sbb :[23]
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi Kekuasaan
Kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya
tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat saya tidak demikian, sebab
tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau
tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di
akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada
hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam
konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa :
"Independence does not mean that the judge is entitled to act in an
arbitrary manner”. Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan
dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu
sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik
segi prosedural maupun substansial / materiil, itu sendiri sudah merupakan
batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam
melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak
sewenang-wenang. Hakim adalah
"subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra
legem".Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi
tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang
kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua
sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung
jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim
(independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu
akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era
globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di
pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun
praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian
"judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari
“independency of judiciary". Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam
mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah
"social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada
dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public
service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara
teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula :
political accountability / legal accountability of state, dan personal
accountability of the judge.
Jadi persoalan kebebasan berpendapat bagi seorang hakim dalam
independensinya tidaklah bersifat mutlak tanpa batas dan rambu. Rambu itu
sendiri adalah moral yang ada yang didasarkan pada falsafah Pancasila. Dalam
konteks bahasa lain adalah tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri ataupun
undang-undang yang melarangnya. Dengan kata lain, setiap pendapat seorang hakim
dalam kebebasannya haruslah selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku
baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagai koridor keadilan dalam
berpendapat. Hal ini sesungguhnya telah ditegaskan secara rinci dalam pasal 25
ayat (1) UU No.4 tahun 2004, yaitu bahwa Segala putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Berdasarkan demikian, kebebasan
berpendapat bagi seorang hakim baik sendiri-sendiri sebagai pribadi maupun
secara bersama-sama dalam suatu majelis yang melahirkan suatu putusan adalah
dalam koridor hukum yang berlaku baik secara tertulis maupun tak tertulis serta
dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah keharusan seorang hakim yang tidak
hanya sebagai corong undang-undang tetapi juga corong dari moral. Sementara
moral yang diakui dalam konsensus adalah Pancasila.
Keadilan; aktivitas keharusan bagi
Hakim
Adil
dan yang seadil-adilnya secara mutlak hanyalah milik Tuhan. Sementara hakim
dituntut untuk berlaku adil semampu mereka. Ajaran moral juga mengenal dan
berpandangan bahwa keadilan harus ditegakkan di muka bumi ini. Misalnya dalam
ajaran agama Islam disebutkan, sbb :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. QS An Nisaa 135
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. QS An Nisa 58
Manusia dan
siapapun ia, diberi amanat untuk menegakkan keadilan dalam hidup mereka
semampunya. Terlebih bagi seorang hakim yang nota bene hanya memiliki pekerjaan
dalam rentang soal keadilan. Dalam pasal 4 ayat (1) UU N0. 4 tahun 2004
ditegaskan, sbb : Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA". Ini menunjukkan bahwa apapun putusan di Pengadilan adalah
demi keadilan tidak lain dari itu. Dan berdasar undang-undang itu pula bahwa
keadilan dimaksud berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Sebagai
pro-keadilan, hakim secara merdeka dapat mengutarakan pendapatnya, sebebasnya
demi terwujudnya keadilan. Segala bentuk intervensi yang mengganggu keadilannya
seorang hakim harus ditolaknya sebagaimanapun. Baik intervensi itu dari
eksekutif maupun dari masyarakat. Bagian terakhir ini terkadang dirasa sulit
bagi seorang hakim dewasa ini karena desakan ekonomi maupun hal-hal yang
bersifat refresif yang tidak kondusif. Di samping kenyataan, seperti yang
dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa Kultur birokrasi dan organisasi negara
yang penuh KKN berpengaruh dalam semua sektor kelembagaan negara, tak
terkecuali di lingkungan organisasi kekuasaan kehakiman. Kita semua tidak perlu
malu mengakui kenyataan ini dalam rangka membangun kesadaran baru mengenai
pentingnya memperbaiki diri dalam rangka memberbaiki keseluruhan keadaan
nasional yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Celakanya lagi, kultur
masyarakat yang kita warisi dari masa lalu, juga cenderung memberikan
pembenaran terhadap kecenderungan terjadinya sentralisasi dan konsentrasi
kekuasaan itu. Sebagian terbesar warga masyarakat kita masih hidup dalam
bayang-bayang sikap yang sangat paternalistik. Hubungan kebudayaan masih sangat
dipengaruhi oleh sistem keteladanan pemimpin.[24]
Adanya dissenting
opinion dalam majlis hakim bisa dikatakan sebagai wujud langsung dari keadilan
itu sendiri baik sebagai pribadi maupun antara hakim lain dalam satu majelis
duduk sama rata. Hans Kelsen sendiri menjadikan satu dari empat syarat untuk
adanya “Negara Hukum”,yaitu syarat lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
Kebebasan dan kemandirian hakim mengandung makna bahwa putusan hakim tidak
boleh atas dasar tekanan opini publik atau tekanan pernyataan-pernyataan yang
menurut istilah Prof Achmad Ali sebagai “pernyataan monopoli kebenaran”, yang ingin
memaksakan kepentingannya agar hakim memutus sesuai kepentingan kelompok mereka.[25]
Dissenting opinion telah memberi sentuhan makna kebebasan pendapat hakim
tentang keadilan tanpa ada pengaruh siapapun.
Penutup
Mahkamah
Konstitusi lahir karena adanya amanat dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6)
UUD 1945 menyebut adanya Mahkamah Konstitusi menjadikan lembaga ini disebut
sebagai lembaga yang termasuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah
Agung dengan tugas yang berbeda, meskipun keduanya menjalankan peradilan. Yang
pertama, yaitu Mahkamah Agung bertugas sebagai pelaksana kehakiman di bidang
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[26]
sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[27]
di bidang ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi
dan berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan.
Sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, seperti juga terbutir dalam UU No. 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman, maupun dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang berarti sebagai lembaga yang mandiri penegak hukum dan
keadilan di bidang tata negara, harus pula diiringi dengan penciptaan sedini
mungkin suatu kultur bagi hakim untuk selalu dan memiliki sifat dan watak
keadilan itu sendiri, berwawasan moral. Dan yang utama di sini adalah semangat
bagi hakim-hakim untuk memperbaiki diri mereka dan menjadikannya sebagai kultur
pada aktivitas kerja sehari-harinya. Idealnya bahwa suatu penciptaan keadilan
bagi pencari keadilan bukan hanya bertumpu pada kemerdekaan dan kemandirian
kelembagaan peradilan. Tetapi juga kemandirian dan kemerdekaan berpendapat bagi
seorang hakim. Keadilan bukanlah formalistik buta terhadap moral dan moral itu
sendiri adalah falsafah Pancasila.
Referensi
Adji, Oemar Seno. 1976. Hukum ( Acara ) Pidana
dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1980.
----------------------,Peradilan
Bebas Negara Hukum, Jakarta. Erlangga, 1980
Allott, Antony., The Limit of Law,
Butterworths, London ,
1980.
Asshiddiqie, Jimly., Kekuasaan
Kehakiman Di Masa Depan, Makalah dalam Seminar di Jakarta
yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis,
13 Juli, 2000
---------------------------------------------
dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006.
Black, Donald., The
Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976
Darmodihardjo,
Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004
Harjono dalam
“Lembaga Negara dalam UUD 1945” Jurnal
Konstitusi Vol.4 No.2, Juni 2007
Hamzah, Andy, Kemandirian
Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah
Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum
Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli
2003, h.7
Friedman, Lawrence M., The Legal Sistem, A Social
Science Perspective, terj. M. Khozin, Nusa Media, Bandung , 2009
Jane
Banfield (edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture
Press, 1993
Kelsen, Hans., General Theory of Law and State,
terj, Somardi, Rimdi Press, Cet. I, (t.t) 1995
Muchsin, Kekuasaan
Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi,, Penerbit STIH IBLAM, 2004
-----------, Kekuasaan Kehakiman Pasca
Perubahan UUD 1945, Hand Out Materi Kuliah, 2007 dalam Kuliah angkatan XV Untag
Surabaya 2008-2009
Mertokusumo,R.M.
Sudikno., Sistem Peradilan di Indonesia;
dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997
----------------------, Kemandirian Hakim Ditinjau Dari Struktur Lembaga Kehakiman, http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kemandi-rian-hakim-ditinyau-dari-struk-tur.html
Paulus E Lotulung,
Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.
Prodjodikuro, Wirjono., Hukum Acara Pidana
di Indonesia Penerbit "Sumur Bandung" Djakarta. 1967.
---------------------: Bunga Rampai Hukum,
Jakarta: lchtiar Baru, 1974.
Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 1988
Rahardjo, Satjipto., Kontribusi Lembaga Sosial
Mendorong Reformasi Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan
Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI. (t.t)
Saleh,
K. Wantjik., Kehakiman dan Peradilan. Jakarta : Simbur
Cahaya, 1976
Wiwie Heryani , Dissenting
Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian Opini, Rabu, 20 Agustus 2008
Warassih, Esmi., Pranata
Hukum, Sebuah Telaah
Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang ,
2005,
[2] Lawrence
M Friedman, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, terj. M.
Khozin, Nusa Media, Bandung ,
2009. h. 17
[5] R.M. Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia; dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997,
halaman 2.
[6] Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman
Di Masa Depan, Makalah dalam Seminar di Jakarta yang
diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13
Juli, 2000, h. 1
[7]Sudikno Mertokusumo, Kemandirian Hakim Ditinjau Dari Struktur Lembaga Kehakiman,http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kemandirian-hakim-ditinyau-dari-struk-tur.html
[11] Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam
Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan
Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan
Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, h.2-3
[12] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
[13] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
[14] Jimly
Asshiddiqie, dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal
dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006, h. 9
[15]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi
Press, Cet. I, (t.t) 1995, h. 3
[16] Satjipto
Rahardjo, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan,
diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI.
(t.t), h. 74-75
[17]
Satjipto Rahardjo dalam
Esmi Warassih, Pranata
Hukum, Sebuah Telaah
Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, h. 3.
[19] Jane Banfield
(edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture Press, 1993,
h.. 2 dan 9.
Vide Darji
Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2004, h. 114-115.
[20] Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung , 1988, h. 37.
[25] Wiwie
Heryani , Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian Opini,
Rabu, 20 Agustus 2008
[26] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
[27] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sedang Pasal 2
berbunyi : Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.