Beracara
di MK dalam Sengketa Pemilukada :
Menyemai
Hukum Responsif
Akhmad
Sukris Sarmadi
Fakultas
Syariah IAIN Antasari
email. a.sukris@yahoo.co.id
One of the individuality of responsive law is to look for implicit
values implied in policy and regulation. This can in seeing from intention of
told justice substansive at case pemilukada of Jatim like statement of MK alone
that Lawcourt may not let orders justice of prosedural ( justice procedural)
putting in the stocks and overruling justice of substantif ( justice
substantive). In other context meant from responsive law individuality is
friction of emphasis of orders to target and principles. In discourse punish
Islam recognized by theory of maslahat that is kindliness to nationality or
society. Strive MK to various solving of case have coped important creating of
him nationality of goodness as target of law and also way of to reaching.
Kata kunci : Constitutional Court,
Local Leader Election, Substansive Justice, Responsive
Pendahuluan
Berlakunya UU No. 12
tahun 2008 sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengukuhkan
kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[1] di bidang
ketatanegaraan. Dalam ketentuan No. 17 pada UU No. 12 tahun 2008 menyatakan
bahwa di antara Pasal 236 dan Pasal 237 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
236A, Pasal 236B, dan Pasal 236C, yang berbunyi Pasal 236C : Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling
lama 18 (delapan
belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Mahkamah
Konstitusi lahir karena adanya amanat dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6)
UUD 1945 yang menyebut lembaga ini sebagai lembaga yang termasuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dengan tugas yang berbeda, meskipun
keduanya menjalankan peradilan. Yang pertama, yaitu Mahkamah Agung bertugas
sebagai pelaksana kehakiman di bidang peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan,[2] sedangkan
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[3] di bidang
ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi dan
berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan.
Dalam pasal 24
C ayat (6) UUD 1945 berbunyi ``Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Bagian kalimat terakhir ini pada waktu itu
dipahami secara tekstual dengan mengundangkan UU No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menyebut pada Pasal 10 kewenangan tersebut berupa memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, berlakunya UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menjadikan MK bukan hanya berwenang atas
sengketa Pemilu presiden/ wakil presiden, tetapi juga pemilihan kepala daerah
provisinsi dan kab/kota. Bahkan perselisihan penetapan DPD dan DPRD. Ini
berarti tidak ada lagi paradoksi kewenangan antar kelembagaan yang sebelumnya
di tangani oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian independensi kelembagaan Mahkamah
Konstitus adalah sesuai dengan maksud dibuatnya yaitu sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), termasuk soal penafsir
konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution). Selain
itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan
bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak
asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal
demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), serta
pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional
rights).[4] Bagian terakhirnya bisa dikatakan sebagai Mekanisme dalam menentukan
pengisian jabatan-jabatan penting dalam lembaga negara, yaitu anggota DPR,
anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Agar hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat.[5]
Ini sejalan dengan tugas yurisdiksi MK di bidang ketatanegaraan sebagai peradilan
konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang
stabil berdasarkan konstitusi.
Sengketa Pemilukada
Penyelesaian
masalah Pemilukada di MK sesungguhnya didasarkan pada prinsip hukum dan
keadilan yaitu prinsip nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua
propria yang bermaksud bahwa "tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun
boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang
lain".
Istilah
Pemilukada dapat ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 tahun
2008 Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 berbunyi : Pemilihan Umum Kepala Daerah,
yang selanjutnya disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Sengketa atau
perselisihan biasanya menyangkut jumlah perolehan suara dalam pemilukada dengan
objek sengketa mengenai penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran
kedua Pemilukada atau terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Mereka yang dirugikan yatu pasangan calon dalam hukum
acara MK adalah para pemohon sedang termohon adalah KPU/KIP provinsi atau
KPU/KIP kabupaten/kota.
Masa tenggang
untuk dilakukannya suatu gugatan atau dalam istilah ini adalah permohonan oleh
pasangan calon kepala daerah yang merasa dirugikan adalah 3 hari. Lewat dari
tiga (3) tiga tidak dapat lagi melakukan pendaftaran permohonan (registrasi)
sebagaimana dimaksud dalam PMK No. 15 tahun 2008, Pasal 5 ayat (1) dan (2).
Timbul pertanyaan, bagaimana jika permohonan belum lengkap? Maka tenggang waktu
tiga hari tetap dijadikan acuan untuk melakukan perbaikan.
Dalam Pasal 6
PMK No. 15 tahun 2008, disebutkan syarat permohonan dimaksud meliputi legalitas
formal yang harus dilakukan oleh pemohon adalah sbb, :
(1). Permohonan diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa
khusus dari Pemohon;
(2). Permohonan harus memuat
a. identitas lengkap Pemohon yang
dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada;
b.
uraian yang jelas mengenai:
1.
kesalahan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon;
2.
permintaan/petitum untuk membatalkan hasil
penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3.
permintaan/petitum untuk menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
(3). Permohonan yang diajukan
disertai alat bukti.
Kuasa
hukum dimaksud adalah advokat resmi berdasarkan UU No.18 tahun 2003 dan telah
membuktikan diri dengan surat kuasa khusus dari pemohon.[6]
Ketentuan tentang surat kuasa khusus mengacu pada hukum acara berlaku sesuai
dengan petunjuk surat edaran MA tentang surat kuasa khusus.[7]
Sedangkan maksud dari ayat (2) dan (3) tersebut sama dengan yang biasa dalam
gugatan atau permohonan dalam hukum acara perdata yaitu memuat tentang posita
dan petitum. Posita berisi uraian yang jelas yang dapat dibuktikan dalam hal
ini tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon.
Sedangkan petitum berisi permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh apa yang seharusnya menurut Termohon. Dan yang pokok juga
harus diperhatikan oleh pemohon bahwa segala posita atau uraian tentang
kesalahan hasil perhitungan suara dimaksud harus dapat dibuktikannya. Oleh
karenanya suatu alat bukti dengan posita haruslah ada kesesuaian. Dengan
demikian, yang dimaksud dalam ayat (3) tentang keharusan adanya alat bukti
tidak lain dimaksudkan adalah alat bukti yang sesuai dengan maksud pada posita.
Dalam bahasa PMK adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek
perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi.
Terhadap
alat bukti ini, sebagaimana dalam hukum acara biasa dengan sedikit perincian
khusus adalah a. keterangan para pihak; b. surat atau tulisan; c. keterangan
saksi; d. keterangan ahli; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi
dan/atau komunikasi elektronik. Suatu
surat / tulisan haruslah berupa berita acara dan salinan pengumuman hasil
pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), berita acara dan salinan
sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia, Pemungutan Suara (PPS); berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah
suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK); berita acara dan salinan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota,
berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon
kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota, berita acara dan
salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi, penetapan
calon terpilih dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan/atau dokumen
tertulis lainnya.
Tentang
alat bukti berupa saksi adalah para saksi yang terkait dengan pemilukada yaitu saksi
resmi peserta Pemilukada; dan saksi pemantau Pemilukada. Dalam hal ini
disyaratkan adalah mereka yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri
proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Dan jika diperlukan, Mahkamah
dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, seperti panitia pengawas pemilihan
umum atau Kepolisian.
Memperhatikan semua
syarat-syarat permohonan dan terkhusus lagi menyangkut proses acara pembuktian
terkadang bagi pihak yang merasa dirugikan dalam pemilukada sangatlah berat.
Namun sebenarnya hukum acara pembuktian dimaksud tidaklah berbeda dengan acara
pembuktian pada perkara perdata biasa maupun pidana. Hanya saksi-saksi
ditentukan secara khusus dikarenakan merekalah yang langsung di lapangan pada
saat terjadinya peristiwa kecurangan dalam pemilukada. Demikian pula bukti
surat, dikarenakan pemilukada sifatnya resmi maka pembuktian berupa dokumen
harus pula sesuai dengan catatan resmi saat peristiwa terjadinya pencurangan
pemilukada. Misalnya pengumuman hasil dari TPS, berita acara PPS, rekapitulasi
resmi jumlah suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota. Dari pembuktian
nyata ini, pemohon dapat mengungkapkan apa yang terjadi berbanding dengan data
lain yang dimilikinya sembari pula, MK dapat mempertimbangkan pokok persoalan
kecurangan pemilukada. Upaya pembuktian demikian sangatlah penting dalam
persidangan. Sebab terjadi dua logika hukum yang saling bertentangan. Bila
pembuktian pemohon terbukti maka pemilukada benar tidak lagi demokratis, tidak
jurdil dan mencederai keadilan secara keseluruhan. Sebaliknya jika tidak
terbukti, maka pencederaan keadilan dianggap tidak terjadi dan menunjukkan
pemilukada sudah demokratis dan jurdil. Persoalan lain, adanya pembuktian
tersebut menutup kemungkinan upaya fitnah pihak yang merasa dikalahkan. Dan ini
sangat berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat. Untuk itu, MK berkepentingan
sekali untuk memelihara kehidupan yang demokratis dalam masyarakat dan pada
gilirannya MK berkomited sebagai agent social accountability” (bertanggung
jawab pada masyarakat). Dan atas nama keadilan MK menjadi penjaga dan pengawal
demokrasi dengan prinsip nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua
propria yang bermaksud bahwa "tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun
boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang
lain". Dan tidak ada tuduhan melainkan harus dibuktikan.
Menyemai Putusan MK
dalam sengketa Pemilukada : Kasus Madura dan substantive justice
Dalam perkara
perselisihan hasil Pilkada 2009, MK membuat 12 putusan dari 9 perkara pada 2008
dan 3 perkara pada tahun 2009.[8]
Dari sejumlah putusan tersebut melahirkan banyak kritik terutama pihak yang
merasa dikalahkan dalam putusan tersebut. Terlebih, putusan MK bersifat final
dan mengikat. Artinya tidak ada jalan lagi untuk mengajukan banding. Dalam
kasus pemilukada Jatim, MK memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Sampang
dan Bangkalan, serta penghitungan perolehan suara ulang di Kabupaten Pamekasan.
Atas putusan ini banyak sekali kritik terhadap MK. Betapa tidak, menurut
anggapan banyak pemerhati, putusan MK itu sendiri sudah keluar dari PMK No. 15
tahun 2008 yang dibuat sendiri oleh MK sebagai Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Benarkah demikian? Sebab
anggapan tersebut bisa saja keliru lantaran tidak memperhatikan langsung suatu
putusan.
Menyimak putusan MK
tersebut ada baiknya memperhatikan Amar Putusan yang dimungkinan dapat dinyatakan
oleh MK seperti dimaksud dalam Pasal 13 ayat 3 PMK No. 15 tahun 2008 yakni :
- permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 peraturan ini;
- permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
- Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Ketiga point amar yang
kemungkinan keluar dalam putusan MK, pada huruf a sudah pasti berkait dengan
legal standing (tentang status hukum pemohon, kedudukannya memenuhi syarat
PMK), syarat legalitas formal berupa tenggang waktu, syarat tertulis permohonan
sesuai dengan hukum acara yang berlaku pada PMK maupun syarat materil berupa
sengketa pemilukada benar-benar ada atau dalam istilah Pasal 4 PMK No. 15 tahun
2008 adalah Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang
ditetapkanoleh Termohon yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang
dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau b. terpilihnya Pasangan Calon
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sedangkan point kedua
yaitu huruf b adalah permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti
beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah. Dalam point
ini dapat ditafsirkan bahwa jika terbukti berarti MK membatalkan hasil
perhitungan suara dan menetapkan suara yang benar menurut MK. Lalu bagaimana
dengan kasus Madura? Apakah mungkin kalimat ``menetapkan hasil penghitungan
suara yang benar menurut Mahkamah`` ditafsirkan dengan putusan MK agar
dilakukan pencoblosan ulang di daerah yang dianggap terjadi kecurangan
pemilukada? Bagaimana jika seandainya pencoblosan ulang tersebut ternyata
terjadi lagi kecurangan? Apakah akan ada putusan lagi untuk mencoblos ulang? Belum
lagi ditinjau secara ekonomi maupun sosial ?
Menurut pendapat yang
berkembang, seharusnya MK menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sedang
akibat adanya kecurangan atau pelanggaran maka daerah seperti Kabupaten
Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan menjadi tidak
diperhitungkan. Dengan kata lain, jumlah yang dapat dibuktikan terjadinya
kecurangan pemilukada dikurangi hasil rekapitulasi KPUD Jatim. Artinya
keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tentang Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II bertanggal 11 November 2008 sepanjang
mengenai Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara di Kabupaten Bangkalan,
Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan dibatalkan. Dan hanya daerah lain di
Jatim tetap mengacu pada hasil rekapitulasi KPUD.
Meskipun demikian,
apabila memperhatikan lebih jauh putusan MK, terutama pada bagian konklusinya dapat
diambil bagian pentinya dalam kajian ini, sbb :
Menimbang
bahwa berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan
di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa:
[4.1] Meskipun dalil Pemohon berdasarkan
posita dan petitum permohonannya tidak konsisten dan tidak terbukti
secara formal, akan tetapi secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan
Pemilukada yang berpengaruh terhadap perolehan suara kedua Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran
II;
[4.2] Pelanggaran sistematis, terstruktur
dan masif yang terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten
Bangkalan, dan Kabupaten Pamekasan yang bertentangan dengan konstitusi
khususnya pelaksanaan Pemilukada secara demokratis, terbukti secara sah dan
meyakinkan, sehingga oleh karenanya Pasangan Calon yang terbukti melakukan
pelanggaran tidak boleh diuntungkan oleh pelanggarannya, dan sebaliknya
Pasangan Calon lainnya tidak boleh dirugikan;
[4.4] Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh
ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah
hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang
dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi
Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal
yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan
sulit ditemukan keadilan;
[4.5] Untuk menegakkan keadilan
substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi
yang harus dikawal oleh Mahkamah, dengan mempertimbangkan semua alat bukti yang
diajukan dalam persidangan, maka Mahkamah dapat
memerintahkan pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang
di kabupaten-kabupaten dan/atau bagian tertentu lainnya di wilayah pemungutan
suara dalam perkara a quo;
[4.6] Manfaat yang dapat diperoleh
dari putusan yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan datang,
pemilihan umum pada umumnya dan Pemilukada khususnya, dapat dilaksanakan dengan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh
pelanggaran serius, terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif.
Pilihan Mahkamah yang demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan
hasil Pemilukada dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga
pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri
dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia;
Point (4.1) MK
telah berusaha mencari kebenaran Materil tidak hanya sekedar kebenaran formil.
Ini merupakan langkah maju dan progresif seperti yang dikatakan dalam putusan
MK bahwa meskipun dalil Pemohon berdasarkan
posita dan petitum permohonannya tidak konsisten dan tidak terbukti
secara formal, akan tetapi secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan
Pemilukada. Hal ini sesuai dengan bagian menimbang MK point (3.24) dalam
putusan MK menyatakan bahwa dikarenakan MK yang sifatnya sebagai peradilan
konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural
(procedural justice) memasung dan
mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena fakta-fakta
hukum benar dan terbukti. Andaikan persoalan ini di bawa pada pengadilan pada
umumnya bolehnya permohonan pemohon akan menjadi tidak diterima. Hal ini dapat
dibuktikan sebagaimana tertuang dalam point [3.13.3] Bahwa hal-hal yang terkait dengan kecurangan
atau pelanggaran sebagaimana didalilkan, bukan merupakan objek perselisihan di
Mahkamah, melainkan seharusnya hal demikian dilaporkan kepada Panwaslu yang
akan mengambil sikap dan tindakan, sedang apabila pelanggaran tersebut
mengandung unsur tindak pidana akan melaporkannya kepada Penyidik. Sehingga
oleh karenanya permohonan demikian juga secara juridis harus ditolak atau setidak-tidaknya
tidak dapat diterima; Permohonan Pemohon yang mendalilkan adanya kesalahan
penghitungan suara yang telah dilakukan
Termohon tidak didasarkan pada alat bukti surat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 10 ayat (1) PMK 15/2008, dan Pemohon menetapkan sendiri versi hasil penghitungan suara sebagaimana termuat
pada posita angka tujuh permohonannya.
Meskpun
demikian, demi keadilan MK berpendapat lain, di mana keadilan prosedural (procedural justice) tidak boleh memasung dan mengesampingkan
keadilan substantif (substantive justice). Untuk itu, MK menyatakan secara
selektif terhadap 26 kabupaten yang dimohonkan pemohon terjadi pelanggaran meskipun
kenyataan pada keberatan Pemohon dalam
posita dan dalil-dalilnya hanya menguraikan kesalahan (dan pelanggaran)
dalam penghitungan suara Pemilukada Jatim mencakup tujuh kabupaten/kota saja,
yaitu: (i) Kabupaten Pamekasan), (ii) Kabupaten Lamongan, (iii) Kabupaten
Madiun, (iv) Kabupaten Nganjuk, (v) Kabupaten Sidoarjo, (vi) Kabupaten
Probolinggo, dan (vii) Kabupaten Banyuwangi. Dan ternyata hanya tiga kabupaten
yang terbukti secara sah dan meyakinkan. Seperti yang disebut dalam (4.2.) Pelanggaran
sistematis, terstruktur dan masif yang
terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan
Kabupaten Pamekasan.
Dalam konklusi point [4.4]
menyatakan bahwa Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan
undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh
menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita
acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur,
sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat
oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan
keadilan. Ungkapan ini jelas secara lebih dahulu mengigatkan betapa putusan
tersebut sudah sedemikian rupa dikaji dan diperhitungkan filosofis keadilannya,
bahkan jawaban atas kemungkinan kritik pendapat hukum di masyarakat yang
memandang keliru suatu putusan MK. Dengan kata lain, MK tidak ingin keluar dari
UUD maupun dari Peraturan MK No. 15 tahun 2008, tetapi ingin menyuarakan
keadilan yang sesungguhnya, filosofis keadilan UUD dan yang ada pada Peraturan
MK No. 15 tahun 2008 seperti yang dikatakan oleh Lawrence M Friedman bahwa The
substance is composed of substansive rules and rules about how institution
should behave.[9]
Ini membuktikan betapa hal yang bersifat substansif sangat penting dan perlu
mendapat pencermatan gigih. Untuk itu MK telah berusaha menggalinya dan
menyuarakannya dalam putusan tersebut. Dalam konteks lain, teori free play of
the text dalam CLS dipahami bahwa setiap teks yang disusun, termasuk keputusan
hukum atau doktrin hukum dibebankan ketika teks itu disusun. Suatu teks selalu
menyatakan lebih ``dari yang dimaksudkan. Dan yang paling mengerti terhadap
teks pada PMK No. 15 tahun 2008 adalah MK sendiri sebab merekalah yang
membuatnya. Bahkan lebih jauh, hanya MK-lah satu-satunya lembaga yang dianggap
bisa menguji undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah ini dianggap memahami
filosofis yang ada pada Undang-Undang Dasar. Bagi doktrin hukum, cara pandang
demikian justru dapat dijadikan rujukan pemahaman baru dalam studi hukum. Untuk
itu dalam point (4.5), MK menyatakan bahwa Untuk menegakkan keadilan substantif
dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi yang harus
dikawal oleh Mahkamah, dengan mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan
dalam persidangan, maka Mahkamah dapat
memerintahkan pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang
di kabupaten-kabupaten dan/atau bagian tertentu lainnya di wilayah pemungutan
suara dalam perkara a quo.
Sebagai pengawal penegakan demokrasi dan
konstitusi, MK melihat adanya asas maslahat dalam suatu putusan seperti
dinyatakan dalam point (4.6) bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari putusan
yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada
umumnya dan Pemilukada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius, terutama
yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah yang
demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada
dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga
pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri
dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia.
Dengan demikian putusan
MK sudah sangat cermat dalam kasus Madura, titik temu pada akar hukum yang
progresif di mana seperti yang dikatakan Satjipto Rahardjo
bahwa Hukum tidak bergerak dalam ruang hampa, ia selalu berada
dalam tatanan sosial tertentu dan manusia yang hidup.[10] Antony Allott
pun berpendapat serupa, bahwa hukum adalah sesuatu yang
berkaitan dengan fakta, hukum ada atau norma itu ada
dan tidak berkaitan
dengan nilai.[11]
Punutup : Hukum yang
Responsif
Menurut
Nonet dan Selznick ada tiga respon hukum
atas dilema antara integritas dan keterbukaan yaitu adanya hukum refresif,
hukum otonom dan hukum responsif. Tanda dari hukum refresif adalah adaptasi
pasif dan oportunistik dari intuisi-intuisi hukum terhadap lingkungan sosial
dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan
yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana ia menjaga
integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya,
mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai
sebuah integritas.[12] Sedangkan ciri khas
dari hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan.[13] Dua ciri
yang menonjol dari konsep
hukum responsif adalah pertama, pergeseran penekanan
dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
dan tujuan; dan kedua, pentingnya
kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.[14]
Ciri
yang menonjol dari MK maupun berbagai putusannya selalu mencerminkan hukum yang
responsif. Hal tersebut biasanya terungkap dalam setiap pertimbangan hukumnya
dan konklusi. Salah satu dari ciri khas dari hukum responsif adalah mencari
nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Ini bisa di
lihat dari maksud dari substansive justice yang dikemukakan pada kasus
pemilukada Jatim seperti pernyataan MK sendiri bahwa Mahkamah tidak boleh
membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan
substantif (substantive justice). Dalam konteks yang lain dimaknakan dari ciri
khas hukum responsif adalah pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan. Dalam wacana hukum Islam dikenal
teori maslahat yaitu kebaikan bagi masyarakat atau kerakyatan. Upaya MK
terhadap berbagai penyelesaian kasus sudah berupaya menciptakan pentingnya kerakyatan
baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Dengan
demikian, jelaslah keliru jika dikatakan dalam kasus Madura (pemilukada Jatim)
MK telah keluar dari aturan MK sendiri No. 15 tahun 2008. demikian pula keliru
jika dikatakan MK masih belum progresif dalam setiap putusannya seperti yang
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diminta lebih progresif dalam menafsirkan
Undang-Undang Dasar 1945, tidak melulu mendasarkan pada original intent, tetapi
sesuai dengan kebutuhan zaman. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) juga diminta
berani menerobos ketentuan prosedural dan tidak menjadikannya alasan untuk
tidak mengadili atau memeriksa suatu perkara. Dengan catatan, hal itu dilakukan
demi tegaknya hak dan keadilan warga negara yang dijamin konstitusi.[15]
Pendapat-pendapat ini lahir karena tidak melihat lebih dekat isi suatu putusan
yang biasanya selalu memuat cara menimbang hukumnya dan konklusinya seharusnya perlu
pula diperhatikan. Terlebih selama ini, hakim-hakim konstitusi adalah
orang-orang yang selalu aktif memperhatikan perkembangan studi hukum maupun
masyarakat sebagai bagian dari social accountability” (pertanggungan jawab pada
masyarakat), sekaligus sebagai the guardian of the
constitution (penjaga konstitusi), ia juga the final interpreter of the constitution (penafsir
konstitusi yang bersifat final). dan sebagai the guardian of the democracy by
protecting minority rights (pengawal demokrasi), the protector of human rights (pelindung
hak asasi manusia) hingga sebagai the protector of the citizen’s constitutional
rights yaitu pelindung hak konstitusional warga negara.
Referensi
Adji, Oemar Seno.,Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980
Allott, Antony., The
Limit of Law, Butterworths, London, 1980.
Black, Donald., The
Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976
Darmodihardjo,
Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004
Harjono dalam “Lembaga Negara dalam UUD
1945” Jurnal Konstitusi Vol.4 No.2, Juni
2007
Hamzah, Andy, Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Dalam Sistim
Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn
Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia
RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, h.7
Friedman, Lawrence M., The
Legal Sistem, A Social Science Perspective, terj. M. Khozin, Nusa Media, Bandung,
2009
Jane
Banfield (edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture
Press, 1993
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah
Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
---------------, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta: 1996
-------------, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006
--------------------,dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I,
Jakarta, 2006.
Kelsen, Hans., General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi
Press, Cet. I, (t.t) 1995
Mertokusumo,R.M. Sudikno., Sistem Peradilan di Indonesia; dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997
Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah
Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum
Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli
2003.
Rahardjo, Satjipto., Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi
Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,
Mahkamah Agung RI. (t.t)
Saleh, K.
Wantjik., Kehakiman dan Peradilan.
Jakarta: Simbur Cahaya, 1976
Wiwie Heryani , Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian
Opini, Rabu, 20 Agustus 2008
Warassih, Esmi., Pranata
Hukum, Sebuah Telaah
Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005,
[1] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
[2] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
[3] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan
Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press,
2005, h. 24
[5] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran
Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai
Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 25 – 26
[6] Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa
seharusnya advokat tersebut selain terdaftar sebagai anggota advokat, ia juga
harus (ii)pernah mengikuti constitutinal lawyer yang sengaja diadakan untuk itu
(iii) telah teregistrasi di kepaniteraan MK dan telah mendapat sertifikat khusus
untuk beracara di MK (iv) sertifikat itu dapat dicabut sewaktu-waktu apabila
advokat yang bersangkutan terbukti bersalah telah (a) menghina pengadilan
(contempt of court) menurut peraturan perundang-undangan (b) melanggar tata
tertib persidangan MK dan dikenakan sanksi dikeluarkan 2 (dua) kali dari persidangan (c)
mengomentari putusan MK yang telah bersifat final dan mengikat secara negatif
atau bertentangan pendapat di luar forum dan media ilmiah yang secara khusus
dimaksudkan untuk tujuan peninjauan hukum (law review) yang lazim di dunia ilmu
hukum. Lih. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006. h.199
[7] Pasal 43 UU N0. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan : Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon
dan/atau termohon dapat didampingi atau
diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Pasal 44
berbunyi: (1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain
kuasanya di dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat
keterangan yang khusus untuk itu. (2)
Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan
kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.
[8] Solo Post, 29 Desember 2009
[9] Lawrence M Friedman, The Legal Sistem,
A Social Science Perspective, Russelll Sage Foundation, New York, 1975. p.
16
[10]
Satjipto Rahardjo dalam
Esmi Warassih, Pranata
Hukum, Sebuah Telaah
Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, h. 3.
[11] Antony
Allott, The Limit of Law, Butterworths, London, 1980, h. xi.
[12] Philippe
Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive
Law. Harper Colophon Books, New York. 1978., h. 87
[13] Ibid,
h. 89
[14] Ibid,
h.. 4, 10, 14 dan 73;
Vide,
A.A.G. Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial,
Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1990,
h. 176, 178 dan 181.
[15] Kompas, Selasa, 18 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar