Selasa, 08 Juni 2010

Beracara di MK dalam Sengketa Pemilukada : Menyemai Hukum Responsif

Jurnal Konstitus Volume III N0.1, Juni 2010
Beracara di MK dalam Sengketa Pemilukada :
Menyemai Hukum Responsif
Akhmad Sukris Sarmadi
Fakultas Syariah IAIN Antasari

One of the individuality of responsive law is to look for implicit values implied in policy and regulation. This can in seeing from intention of told justice substansive at case pemilukada of Jatim like statement of MK alone that Lawcourt may not let orders justice of prosedural ( justice procedural) putting in the stocks and overruling justice of substantif ( justice substantive). In other context meant from responsive law individuality is friction of emphasis of orders to target and principles. In discourse punish Islam recognized by theory of maslahat that is kindliness to nationality or society. Strive MK to various solving of case have coped important creating of him nationality of goodness as target of law and also way of to reaching.

Kata kunci :  Constitutional Court, Local Leader Election, Substansive Justice, Responsive
Pendahuluan
Berlakunya UU No. 12 tahun 2008 sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah telah mengukuhkan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[1] di bidang ketatanegaraan. Dalam ketentuan No. 17 pada UU No. 12 tahun 2008 menyatakan bahwa di antara Pasal 236 dan Pasal 237 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 236A, Pasal 236B, dan Pasal 236C, yang berbunyi Pasal 236C : Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan  wakil  kepala  daerah  oleh  Mahkamah  Agung  dialihkan  kepada Mahkamah  Konstitusi  paling  lama  18  (delapan  belas)  bulan  sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Mahkamah Konstitusi lahir karena adanya amanat dalam perubahan pada pasal 24 C ayat (6) UUD 1945 yang menyebut lembaga ini sebagai lembaga yang termasuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung dengan tugas yang berbeda, meskipun keduanya menjalankan peradilan. Yang pertama, yaitu Mahkamah Agung bertugas sebagai pelaksana kehakiman di bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[2] sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanakan kehakiman[3] di bidang ketatanegaraan. Di katakan ketatanegaraan dikarenakan ia mengurusi dan berwenang terhadap soal-soal ketatanegaraan.
Dalam pasal 24 C ayat (6) UUD 1945 berbunyi ``Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat  final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,  memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara  yang  kewenangannya diberikan  oleh Undang-Undang  Dasar,  memutus  pembubaran  partai  politik,  dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Bagian kalimat terakhir ini pada waktu itu dipahami secara tekstual dengan mengundangkan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebut pada Pasal 10 kewenangan tersebut berupa memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, berlakunya UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah menjadikan MK bukan hanya berwenang atas sengketa Pemilu presiden/ wakil presiden, tetapi juga pemilihan kepala daerah provisinsi dan kab/kota. Bahkan perselisihan penetapan DPD dan DPRD. Ini berarti tidak ada lagi paradoksi kewenangan antar kelembagaan yang sebelumnya di tangani oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian independensi kelembagaan Mahkamah Konstitus adalah sesuai dengan maksud dibuatnya yaitu sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), termasuk soal penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights).[4] Bagian terakhirnya bisa dikatakan sebagai Mekanisme dalam menentukan pengisian jabatan-jabatan penting dalam lembaga negara, yaitu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agar hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat.[5] Ini sejalan dengan tugas yurisdiksi MK di bidang ketatanegaraan sebagai peradilan konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil berdasarkan konstitusi.

Sengketa Pemilukada
          Penyelesaian masalah Pemilukada di MK sesungguhnya didasarkan pada prinsip hukum dan keadilan yaitu prinsip nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria yang bermaksud bahwa "tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain".
Istilah Pemilukada dapat ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 tahun 2008 Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 berbunyi : Pemilihan Umum Kepala Daerah, yang selanjutnya disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Sengketa atau perselisihan biasanya menyangkut jumlah perolehan suara dalam pemilukada dengan objek sengketa mengenai penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mereka yang dirugikan yatu pasangan calon dalam hukum acara MK adalah para pemohon sedang termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota.
Masa tenggang untuk dilakukannya suatu gugatan atau dalam istilah ini adalah permohonan oleh pasangan calon kepala daerah yang merasa dirugikan adalah 3 hari. Lewat dari tiga (3) tiga tidak dapat lagi melakukan pendaftaran permohonan (registrasi) sebagaimana dimaksud dalam PMK No. 15 tahun 2008, Pasal 5 ayat (1) dan (2). Timbul pertanyaan, bagaimana jika permohonan belum lengkap? Maka tenggang waktu tiga hari tetap dijadikan acuan untuk melakukan perbaikan.
Dalam Pasal 6 PMK No. 15 tahun 2008, disebutkan syarat permohonan dimaksud meliputi legalitas formal yang harus dilakukan oleh pemohon adalah sbb, :
 (1). Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon;
(2). Permohonan harus memuat
a.  identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada;
 b.  uraian yang jelas mengenai:
1.     kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2.     permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3.     permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
  (3). Permohonan yang diajukan disertai alat bukti.
          Kuasa hukum dimaksud adalah advokat resmi berdasarkan UU No.18 tahun 2003 dan telah membuktikan diri dengan surat kuasa khusus dari pemohon.[6] Ketentuan tentang surat kuasa khusus mengacu pada hukum acara berlaku sesuai dengan petunjuk surat edaran MA tentang surat kuasa khusus.[7] Sedangkan maksud dari ayat (2) dan (3) tersebut sama dengan yang biasa dalam gugatan atau permohonan dalam hukum acara perdata yaitu memuat tentang posita dan petitum. Posita berisi uraian yang jelas yang dapat dibuktikan dalam hal ini tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon. Sedangkan petitum berisi permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh apa yang seharusnya menurut Termohon. Dan yang pokok juga harus diperhatikan oleh pemohon bahwa segala posita atau uraian tentang kesalahan hasil perhitungan suara dimaksud harus dapat dibuktikannya. Oleh karenanya suatu alat bukti dengan posita haruslah ada kesesuaian. Dengan demikian, yang dimaksud dalam ayat (3) tentang keharusan adanya alat bukti tidak lain dimaksudkan adalah alat bukti yang sesuai dengan maksud pada posita. Dalam bahasa PMK adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi.
          Terhadap alat bukti ini, sebagaimana dalam hukum acara biasa dengan sedikit perincian khusus adalah a. keterangan para pihak; b. surat atau tulisan; c. keterangan saksi; d. keterangan ahli; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi elektronik.  Suatu surat / tulisan haruslah berupa berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia, Pemungutan Suara (PPS);  berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK); berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota, berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi, penetapan calon terpilih dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota, dan/atau dokumen tertulis lainnya.
          Tentang alat bukti berupa saksi adalah para saksi yang terkait dengan pemilukada yaitu saksi resmi peserta Pemilukada; dan saksi pemantau Pemilukada. Dalam hal ini disyaratkan adalah mereka yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Dan jika diperlukan, Mahkamah dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, seperti panitia pengawas pemilihan umum atau Kepolisian.
Memperhatikan semua syarat-syarat permohonan dan terkhusus lagi menyangkut proses acara pembuktian terkadang bagi pihak yang merasa dirugikan dalam pemilukada sangatlah berat. Namun sebenarnya hukum acara pembuktian dimaksud tidaklah berbeda dengan acara pembuktian pada perkara perdata biasa maupun pidana. Hanya saksi-saksi ditentukan secara khusus dikarenakan merekalah yang langsung di lapangan pada saat terjadinya peristiwa kecurangan dalam pemilukada. Demikian pula bukti surat, dikarenakan pemilukada sifatnya resmi maka pembuktian berupa dokumen harus pula sesuai dengan catatan resmi saat peristiwa terjadinya pencurangan pemilukada. Misalnya pengumuman hasil dari TPS, berita acara PPS, rekapitulasi resmi jumlah suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota. Dari pembuktian nyata ini, pemohon dapat mengungkapkan apa yang terjadi berbanding dengan data lain yang dimilikinya sembari pula, MK dapat mempertimbangkan pokok persoalan kecurangan pemilukada. Upaya pembuktian demikian sangatlah penting dalam persidangan. Sebab terjadi dua logika hukum yang saling bertentangan. Bila pembuktian pemohon terbukti maka pemilukada benar tidak lagi demokratis, tidak jurdil dan mencederai keadilan secara keseluruhan. Sebaliknya jika tidak terbukti, maka pencederaan keadilan dianggap tidak terjadi dan menunjukkan pemilukada sudah demokratis dan jurdil. Persoalan lain, adanya pembuktian tersebut menutup kemungkinan upaya fitnah pihak yang merasa dikalahkan. Dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat. Untuk itu, MK berkepentingan sekali untuk memelihara kehidupan yang demokratis dalam masyarakat dan pada gilirannya MK berkomited sebagai agent social accountability” (bertanggung jawab pada masyarakat). Dan atas nama keadilan MK menjadi penjaga dan pengawal demokrasi dengan prinsip nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria yang bermaksud bahwa "tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain". Dan tidak ada tuduhan melainkan harus dibuktikan.

Menyemai Putusan MK dalam sengketa Pemilukada : Kasus Madura dan substantive justice
Dalam perkara perselisihan hasil Pilkada 2009, MK membuat 12 putusan dari 9 perkara pada 2008 dan 3 perkara pada tahun 2009.[8] Dari sejumlah putusan tersebut melahirkan banyak kritik terutama pihak yang merasa dikalahkan dalam putusan tersebut. Terlebih, putusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada jalan lagi untuk mengajukan banding. Dalam kasus pemilukada Jatim, MK memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan, serta penghitungan perolehan suara ulang di Kabupaten Pamekasan. Atas putusan ini banyak sekali kritik terhadap MK. Betapa tidak, menurut anggapan banyak pemerhati, putusan MK itu sendiri sudah keluar dari PMK No. 15 tahun 2008 yang dibuat sendiri oleh MK sebagai Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Benarkah demikian? Sebab anggapan tersebut bisa saja keliru lantaran tidak memperhatikan langsung suatu putusan.
Menyimak putusan MK tersebut ada baiknya memperhatikan Amar Putusan yang dimungkinan dapat dinyatakan oleh MK seperti dimaksud dalam Pasal 13 ayat 3 PMK No. 15 tahun 2008 yakni :
  1. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 peraturan ini;
  2. permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
  3. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Ketiga point amar yang kemungkinan keluar dalam putusan MK, pada huruf a sudah pasti berkait dengan legal standing (tentang status hukum pemohon, kedudukannya memenuhi syarat PMK), syarat legalitas formal berupa tenggang waktu, syarat tertulis permohonan sesuai dengan hukum acara yang berlaku pada PMK maupun syarat materil berupa sengketa pemilukada benar-benar ada atau dalam istilah Pasal 4 PMK No. 15 tahun 2008 adalah Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkanoleh Termohon yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sedangkan point kedua yaitu huruf b adalah permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah. Dalam point ini dapat ditafsirkan bahwa jika terbukti berarti MK membatalkan hasil perhitungan suara dan menetapkan suara yang benar menurut MK. Lalu bagaimana dengan kasus Madura? Apakah mungkin kalimat ``menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah`` ditafsirkan dengan putusan MK agar dilakukan pencoblosan ulang di daerah yang dianggap terjadi kecurangan pemilukada? Bagaimana jika seandainya pencoblosan ulang tersebut ternyata terjadi lagi kecurangan? Apakah akan ada putusan lagi untuk mencoblos ulang? Belum lagi ditinjau secara ekonomi maupun sosial ?
Menurut pendapat yang berkembang, seharusnya MK menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sedang akibat adanya kecurangan atau pelanggaran maka daerah seperti Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan menjadi tidak diperhitungkan. Dengan kata lain, jumlah yang dapat dibuktikan terjadinya kecurangan pemilukada dikurangi hasil rekapitulasi KPUD Jatim. Artinya keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II bertanggal 11 November 2008 sepanjang mengenai Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pamekasan dibatalkan. Dan hanya daerah lain di Jatim tetap mengacu pada hasil rekapitulasi KPUD.
Meskipun demikian, apabila memperhatikan lebih jauh putusan MK, terutama pada bagian konklusinya dapat diambil bagian pentinya dalam kajian ini, sbb :
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: 
[4.1] Meskipun dalil Pemohon berdasarkan  posita dan petitum permohonannya tidak konsisten dan tidak terbukti secara formal, akan tetapi secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan Pemilukada yang berpengaruh terhadap perolehan suara kedua Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran II;
[4.2] Pelanggaran sistematis, terstruktur  dan masif yang terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pamekasan yang bertentangan dengan konstitusi khususnya pelaksanaan Pemilukada secara demokratis, terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga oleh karenanya Pasangan Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tidak boleh diuntungkan oleh pelanggarannya, dan sebaliknya Pasangan Calon lainnya tidak boleh dirugikan;
[4.4] Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan;
[4.5]  Untuk menegakkan keadilan substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi yang harus dikawal oleh Mahkamah, dengan mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka Mahkamah dapat  memerintahkan pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang di kabupaten-kabupaten dan/atau bagian tertentu lainnya di wilayah pemungutan suara dalam perkara a quo; 
[4.6]  Manfaat yang dapat diperoleh dari putusan yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada umumnya dan Pemilukada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius, terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah yang demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri  dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia; 

Point (4.1) MK telah berusaha mencari kebenaran Materil tidak hanya sekedar kebenaran formil. Ini merupakan langkah maju dan progresif seperti yang dikatakan dalam putusan MK bahwa meskipun dalil Pemohon berdasarkan  posita dan petitum permohonannya tidak konsisten dan tidak terbukti secara formal, akan tetapi secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan Pemilukada. Hal ini sesuai dengan bagian menimbang MK point (3.24) dalam putusan MK menyatakan bahwa dikarenakan MK yang sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice)  memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena fakta-fakta hukum benar dan terbukti. Andaikan persoalan ini di bawa pada pengadilan pada umumnya bolehnya permohonan pemohon akan menjadi tidak diterima. Hal ini dapat dibuktikan sebagaimana tertuang dalam point [3.13.3]  Bahwa hal-hal yang terkait dengan kecurangan atau pelanggaran sebagaimana didalilkan, bukan merupakan objek perselisihan di Mahkamah, melainkan seharusnya hal demikian dilaporkan kepada Panwaslu yang akan mengambil sikap dan tindakan, sedang apabila pelanggaran tersebut mengandung unsur tindak pidana akan melaporkannya kepada Penyidik. Sehingga oleh karenanya permohonan demikian juga secara juridis harus ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima; Permohonan Pemohon yang mendalilkan adanya kesalahan penghitungan suara yang telah dilakukan  Termohon tidak didasarkan pada alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) PMK 15/2008, dan Pemohon menetapkan sendiri versi  hasil penghitungan suara sebagaimana termuat pada posita angka tujuh permohonannya.
Meskpun demikian, demi keadilan MK berpendapat lain, di mana  keadilan prosedural (procedural justice)  tidak boleh memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice). Untuk itu, MK menyatakan secara selektif terhadap 26 kabupaten yang dimohonkan pemohon terjadi pelanggaran meskipun kenyataan pada keberatan Pemohon dalam  posita dan dalil-dalilnya hanya menguraikan kesalahan (dan pelanggaran) dalam penghitungan suara Pemilukada Jatim mencakup tujuh kabupaten/kota saja, yaitu: (i) Kabupaten Pamekasan), (ii) Kabupaten Lamongan, (iii) Kabupaten Madiun, (iv) Kabupaten Nganjuk, (v) Kabupaten Sidoarjo, (vi) Kabupaten Probolinggo, dan (vii) Kabupaten Banyuwangi. Dan ternyata hanya tiga kabupaten yang terbukti secara sah dan meyakinkan. Seperti yang disebut dalam (4.2.) Pelanggaran sistematis, terstruktur  dan masif yang terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pamekasan.
Dalam konklusi point [4.4] menyatakan bahwa Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan. Ungkapan ini jelas secara lebih dahulu mengigatkan betapa putusan tersebut sudah sedemikian rupa dikaji dan diperhitungkan filosofis keadilannya, bahkan jawaban atas kemungkinan kritik pendapat hukum di masyarakat yang memandang keliru suatu putusan MK. Dengan kata lain, MK tidak ingin keluar dari UUD maupun dari Peraturan MK No. 15 tahun 2008, tetapi ingin menyuarakan keadilan yang sesungguhnya, filosofis keadilan UUD dan yang ada pada Peraturan MK No. 15 tahun 2008 seperti yang dikatakan oleh Lawrence M Friedman bahwa The substance is composed of substansive rules and rules about how institution should behave.[9] Ini membuktikan betapa hal yang bersifat substansif sangat penting dan perlu mendapat pencermatan gigih. Untuk itu MK telah berusaha menggalinya dan menyuarakannya dalam putusan tersebut. Dalam konteks lain, teori free play of the text dalam CLS dipahami bahwa setiap teks yang disusun, termasuk keputusan hukum atau doktrin hukum dibebankan ketika teks itu disusun. Suatu teks selalu menyatakan lebih ``dari yang dimaksudkan. Dan yang paling mengerti terhadap teks pada PMK No. 15 tahun 2008 adalah MK sendiri sebab merekalah yang membuatnya. Bahkan lebih jauh, hanya MK-lah satu-satunya lembaga yang dianggap bisa menguji undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah ini dianggap memahami filosofis yang ada pada Undang-Undang Dasar. Bagi doktrin hukum, cara pandang demikian justru dapat dijadikan rujukan pemahaman baru dalam studi hukum. Untuk itu dalam point (4.5), MK menyatakan bahwa Untuk menegakkan keadilan substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi yang harus dikawal oleh Mahkamah, dengan mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka Mahkamah dapat  memerintahkan pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang di kabupaten-kabupaten dan/atau bagian tertentu lainnya di wilayah pemungutan suara dalam perkara a quo.
 Sebagai pengawal penegakan demokrasi dan konstitusi, MK melihat adanya asas maslahat dalam suatu putusan seperti dinyatakan dalam point (4.6) bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari putusan yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada umumnya dan Pemilukada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius, terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah yang demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri  dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia. 
Dengan demikian putusan MK sudah sangat cermat dalam kasus Madura, titik temu pada akar hukum yang progresif di mana seperti yang dikatakan Satjipto  Rahardjo  bahwa Hukum tidak bergerak dalam ruang hampa, ia selalu berada dalam  tatanan sosial  tertentu dan manusia yang hidup.[10] Antony  Allott  pun  berpendapat  serupa, bahwa hukum adalah sesuatu yang berkaitan dengan fakta, hukum ada atau norma itu  ada  dan  tidak  berkaitan  dengan  nilai.[11]

Punutup : Hukum yang Responsif
Menurut Nonet  dan Selznick ada tiga respon hukum atas dilema antara integritas dan keterbukaan yaitu adanya hukum refresif, hukum otonom dan hukum responsif. Tanda dari hukum refresif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari intuisi-intuisi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana ia menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.[12] Sedangkan ciri khas dari hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan.[13] Dua  ciri  yang menonjol  dari  konsep  hukum  responsif  adalah pertama, pergeseran penekanan dari  aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan  tujuan; dan kedua, pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.[14]
          Ciri yang menonjol dari MK maupun berbagai putusannya selalu mencerminkan hukum yang responsif. Hal tersebut biasanya terungkap dalam setiap pertimbangan hukumnya dan konklusi. Salah satu dari ciri khas dari hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Ini bisa di lihat dari maksud dari substansive justice yang dikemukakan pada kasus pemilukada Jatim seperti pernyataan MK sendiri bahwa Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice)  memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice). Dalam konteks yang lain dimaknakan dari ciri khas hukum responsif adalah pergeseran penekanan dari  aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan  tujuan. Dalam wacana hukum Islam dikenal teori maslahat yaitu kebaikan bagi masyarakat atau kerakyatan. Upaya MK terhadap berbagai penyelesaian kasus sudah berupaya menciptakan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
          Dengan demikian, jelaslah keliru jika dikatakan dalam kasus Madura (pemilukada Jatim) MK telah keluar dari aturan MK sendiri No. 15 tahun 2008. demikian pula keliru jika dikatakan MK masih belum progresif dalam setiap putusannya seperti yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diminta lebih progresif dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945, tidak melulu mendasarkan pada original intent, tetapi sesuai dengan kebutuhan zaman. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) juga diminta berani menerobos ketentuan prosedural dan tidak menjadikannya alasan untuk tidak mengadili atau memeriksa suatu perkara. Dengan catatan, hal itu dilakukan demi tegaknya hak dan keadilan warga negara yang dijamin konstitusi.[15] Pendapat-pendapat ini lahir karena tidak melihat lebih dekat isi suatu putusan yang biasanya selalu memuat cara menimbang hukumnya dan konklusinya seharusnya perlu pula diperhatikan. Terlebih selama ini, hakim-hakim konstitusi adalah orang-orang yang selalu aktif memperhatikan perkembangan studi hukum maupun masyarakat sebagai bagian dari social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), sekaligus sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi), ia juga  the final interpreter of the constitution (penafsir konstitusi yang bersifat final). dan sebagai the guardian of the democracy by protecting minority rights (pengawal demokrasi), the protector of human rights (pelindung hak asasi manusia) hingga sebagai the protector of the citizen’s constitutional rights yaitu pelindung hak konstitusional warga negara.
Referensi
Adji, Oemar Seno.,Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980
Allott, Antony., The Limit of Law, Butterworths, London, 1980.
Black, Donald., The Behavior of Law, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976
Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
Harjono  dalam  “Lembaga  Negara  dalam  UUD  1945”  Jurnal  Konstitusi  Vol.4  No.2,  Juni  2007
Hamzah, Andy, Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003, h.7
Friedman, Lawrence M., The Legal Sistem, A Social Science Perspective, terj. M. Khozin, Nusa Media, Bandung, 2009
Jane Banfield (edit.), Readings in Law and Society, fifth edition,Capture Press, 1993
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
---------------, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta: 1996
-------------, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006
--------------------,dk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretarian Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. I, Jakarta, 2006.
Kelsen, Hans., General Theory of Law and State, terj, Somardi, Rimdi Press, Cet. I, (t.t) 1995
Mertokusumo,R.M. Sudikno., Sistem Peradilan di Indonesia;  dalam Jurnal Hukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997
Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.
Rahardjo, Satjipto., Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, diterbitkan oleh Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Mahkamah Agung RI. (t.t)
Saleh, K. Wantjik., Kehakiman dan Peradilan.  Jakarta: Simbur Cahaya,  1976
Wiwie Heryani , Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim, |Fajar, bagian Opini, Rabu, 20 Agustus 2008
Warassih, Esmi.,  Pranata  Hukum,  Sebuah  Telaah  Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005,




[1] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang  Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

[2] Dalam Pasal 1 UU N0.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
[3] Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebut sebagai selah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, sbb :Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedang  Pasal 2 berbunyi : Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005,  h. 24
[5] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 25 – 26
[6] Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa seharusnya advokat tersebut selain terdaftar sebagai anggota advokat, ia juga harus (ii)pernah mengikuti constitutinal lawyer yang sengaja diadakan untuk itu (iii) telah teregistrasi di kepaniteraan MK dan telah mendapat sertifikat khusus untuk beracara di MK (iv) sertifikat itu dapat dicabut sewaktu-waktu apabila advokat yang bersangkutan terbukti bersalah telah (a) menghina pengadilan (contempt of court) menurut peraturan perundang-undangan (b) melanggar tata tertib persidangan MK dan dikenakan sanksi dikeluarkan  2 (dua) kali dari persidangan (c) mengomentari putusan MK yang telah bersifat final dan mengikat secara negatif atau bertentangan pendapat di luar forum dan media ilmiah yang secara khusus dimaksudkan untuk tujuan peninjauan hukum (law review) yang lazim di dunia ilmu hukum. Lih. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. h.199
[7] Pasal 43 UU N0. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan : Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat  didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Pasal 44 berbunyi: (1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.     (2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.
[8] Solo Post, 29 Desember 2009
[9] Lawrence M Friedman, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Russelll Sage Foundation, New York, 1975. p. 16
[10] Satjipto  Rahardjo  dalam  Esmi  Warassih,  Pranata  Hukum,  Sebuah  Telaah  Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, h. 3.
[11] Antony Allott, The Limit of Law, Butterworths, London, 1980, h. xi.
[12] Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, New York. 1978., h. 87
[13] Ibid, h. 89
[14] Ibid, h.. 4, 10, 14 dan 73;
Vide, A.A.G. Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1990, h. 176, 178 dan 181.
[15] Kompas, Selasa, 18 November 2008

Jumat, 04 Juni 2010

Jurnal Konstitusi : Volume III Nomor 1, Juni 2010

      Jurnal Konstitusi : Volume III Nomor 1, Juni 2010
Judul Tambahan PKK Fakultas Syariah IAIN Antasari
Call Number J 2x6.2 Kon j
Penulis .[et.al].
Cooperate  Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Syariah IAIN Antasari
Penerbit     Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kota Terbit Jakarta
Tahun Terbit 2010

ISBN/ISSN 1979-651X
Seri No. 1 Volume III

  • Peran Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Oleh: LIES ARIANY adalah adalah dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
  • Krisis Pemilukada:Tinjauan Terhadap Polemik Keabsahan Panwaslukada pada Pemilukada 2010 di Indonesia. Oleh: M. RIFQINIZAMY KARSAYUDA adalah dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
  • Keabsahan Panwaslukada Provinsi dan Keabsahan Pemilukada Provinsi Kalsel. Oleh: ERLINA adalah dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
  • Masalah Hak Pilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Oleh: H. SURIANSYAH MURHAINI, adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya, Doktor (S3) Universitas Merdeka Malang
  • Urgensi Penyempurnaan Sistem Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung. Oleh: H. M. ERHAM AMIN, Dosen Fakultas Hukum Unlam dan Ketua LKBH Fakultas Hukum Unlam.
  • Beracara di Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah:Menyamai Hukum Responsif. Oleh: AKHMAD SUKRIS SARMADI adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, sekarang sedang menempur S3 pada Fakultas Hukum Untag Surabaya dan ketua LKBH Fakultas Syariah IAIN Antasari.
  • Tugas Kepala Daerah di Indonesia:Analisis Politik Islam. Oleh: RUSLAN adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin